MK putuskan DPR tak lagi pilih calon hakim agung
Sehingga calon hakim agung yang diajukan oleh KY kepada DPR hanya satu calon hakim agung untuk setiap satu lowongan.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kini DPR pun tidak lagi melakukan seleksi calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial, tetapi hanya menyetujuinya.
"Kata 'dipilih' dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU Mahkamah Agung bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'disetujui'," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan seperti dikutip dari Antara, Kamis (9/1).
MK juga menyatakan kata 'Pemilihan' dalam Pasal 8 ayat (4) UU MA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'persetujuan'.
Hamdan juga mengatakan MK menyatakan frasa 'tiga nama calon' dalam Pasal 8 ayat (3) UU MA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'satu nama calon?/ Dengan demikian bunyi Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA selengkapnya menjadi: ayat (2) 'Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial'.
Ayat (3) berbunyi: Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu) nama calon untuk setiap lowongan.
Ayat (4) berbunyi: Persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
MK juga menyatakan Frasa 'tiga calon' dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'satu calon'.
Pasal 18 ayat (4) Komisi Yudisial selengkapnya menjadi: 'Dalam jangka waktu paling lama 15 hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan satu calon hakim agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden'.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.
"Ketentuan tersebut telah mengubah kewenangan DPR dari hanya 'memberikan persetujuan' menjadi kewenangan untuk 'memilih' calon hakim agung yang diajukan oleh KY," kata Fadlil Sumadi, saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Demikian juga, kata Fadlil, UU tersebut mengharuskan KY untuk mengajukan tiga calon hakim agung untuk setiap lowongan hakim agung, juga bertentangan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.
"Agar ketentuan kedua Undang-Undang a quo, tidak menyimpang dari norma UUD 1945, menurut Mahkamah kata 'dipilih' oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) harus dimaknai 'disetujui' oleh Dewan Perwakilan Rakyat," katanya.
Serta, lanjutnya, kata 'pemilihan' dalam ayat (4) UU MA harus dimaknai sebagai 'persetujuan'. Demikian juga frasa 'tiga nama calon' yang termuat dalam Pasal 8 ayat (3) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY harus dimaknai 'satu nama calon'.
"Sehingga calon hakim agung yang diajukan oleh KY kepada DPR hanya satu calon hakim agung untuk setiap satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR," kata Fadlil.