Pantau pendamping dana desa, Auditor BPK ditraktir menginap oleh Kemendes PDTT
Dalam sidang hari ini, jaksa penuntut umum KPK juga sempat menanyakan pengetahuan Mendes PDTT, Eko Putro Sunjoyo terhadap kegiatan serta aktivitas anak buahnya saat turun ke lapangan.
Sidang tindak pidana suap terkait opini wajar tanpa pengecualian terhadap Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) kembali mengungkap fakta persidangan. Dalam sidang hari ini, jaksa mengungkap auditor BPK mendapat fasilitas biaya penginapan hotel.
Danang Kurnianto, auditor BPK-RI saat itu melakukan monitor penggunaan dana pendamping desa di Banten. Dalam tugasnya, Danang diketahui menginap satu hari di hotel Marbella dibiayai oleh Kementerian Desa. Biayanya Rp 900.000 per malam.
"Saat itu anda turun ke Banten menginap di hotel. Siapa yang biayai?" tanya jaksa KPK, Takdir Suhan, Rabu (20/9).
Dia menjawab akomodasi penginapannya di hotel tersebut menggunakan uang pribadi. Namun pernyataannya itu dimentahkan oleh tim jaksa penuntut umum KPK dengan menampilkan invoice pembayaran penginapan Danang di Hotel Marbella.
"Ini lampiran yang dijadikan laporan oleh Kemendes loh pak," tegas Takdir.
"Ya terserah, yang jelas saya pakai uang pribadi tidak dibiayai," ujar Danang.
Dalam sidang hari ini, jaksa penuntut umum KPK juga sempat menanyakan pengetahuan Mendes PDTT, Eko Putro Sunjoyo terhadap kegiatan serta aktivitas anak buahnya saat turun ke lapangan.
"Bapak tahu tidak anak buah bapak itu jalan-jalan (saat melakukan pemantauan honorarium pendamping dana desa)," kata Takdir.
"Saya tidak tahu," ungkap Eko yang mengaku tidak mengetahui secara mendetil kegiatan anak buahnya itu.
Seperti diketahui Irjen non aktif Kementerian Desa, Sugito dan pejabat eselon III, Jarot Budi Prabowo didakwa menyuap auditor BPK; Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli sebesar Rp 240 juta, terkait pemberian opini wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
Dalam laporan keuangan tim PDTT dari BPK-RI tahun 2015 menemukan penggunaan tidak wajar Rp 420 Miliar untuk honorarium pendamping dana desa. Di tahun 2016, semester I, tim PDTT juga menemukan Rp 550 Miliar penggunaan tidak wajar untuk honorarium pendamping dana desa.
Namun penilaian tim PDTT BPK-RI berbeda dengan tim Laporan Keuangan BPK-RI. Tim yang diketuai Andi Bonanganom itu mengatakan temuan tim PDTT tahun 2016 semester I telah ditindaklanjuti sehingga tidak ada ketidakwajaran lagi dalam penggunaan dana honorarium pendamping desa.
Keduanya didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.