Parpol di Surabaya dianggap 'gagap' cari kompetitor Risma
Karena hal itu, parpol dianggap melakuan 'pembegalan politik'.
Pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota Surabaya, Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana, resmi mendapat lawan tanding dari Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN), Rasiyo-Dhimam Abror. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Surabaya, Jawa Timur telah menyatakan pasangan Rasiyo-Abror sah mengikuti Pilkada Surabaya pada 9 Desember mendatang, meski rekomendasi dari PAN hanya dikirim via faksimili.
Sebelum pasangan diusung Demokrat dan PAN ini mendaftar, gelombang aksi sempat mewarnai tahapan Pilkada serentak di Kota Pahlawan ini. Mereka mendesak KPU menggelar Pilkada Surabaya tepat waktu, bukan diundur hingga 2017.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Apa saja jenis wisata yang bisa ditemukan di Surabaya? Di kota ini, kita bisa menjelajahi berbagai macam destinasi menarik yang pastinya akan memberikan pengalaman seru.
-
Apa yang menjadi ciri khas oleh-oleh dari Surabaya? Sambal Bu Rudy menjadi salah satu ikon oleh-oleh khas Surabaya.
-
Kapan Kirab Kebo Bule di Surakarta diadakan? Surakarta memiliki tradisi pada perayaan malam 1 Suro atau bisa disebut malam tahun baru Hijriah.
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 diatur Pilkada bisa digelar jika daerah itu memiliki minimal dua pasangan calon. Namun, dari beberapa daerah di Tanah Air yang ikut menggelar Pilkada serentak, ada tujuh daerah, tiga di antaranya ada di Jawa Timur, yaitu Pacitan, Blitar dan Surabaya, sempat hanya mempunyai satu pasangan calon.
Meski sudah dilakukan perpanjangan pendaftaran pada 1 hingga 3 Agustus, ternyata hanya dihuni satu pasangan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun menurunkan rekomendasinya ke KPU RI agar membuka kembali masa pendaftaran berakhir hari ini.
Di Surabaya, Koalisi Majapahit terdiri dari Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan sepakat tidak akan mengusung satupun calonnya di masa perpanjangan tahap dua ini. Mereka tetap ngotot menginginkan pilkada digelar 2017, dan akan menggugat KPU yang melaksanakan rekomendasi Bawaslu RI itu. Ternyata, Koalisi Majapahit pecah kongsi. Demokrat dan PAN tetap mendaftarkan calonnya, yaitu Rasiyo-Abror di hari terakhir perpanjangan pendaftaran tahap dua.
Menurut pengamat politik asal Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, fenomena Pilkada di Kota Pahlawan ini telah memperlihatkan kecenderungan elit parpol yang enggan menjalankan peran politiknya dengan baik.
"Mestinya kan Parpol itu sudah jauh-jauh hari menyiapkan calonnya untuk momen Pilkada seperti ini. Dan di Surabaya sendiri, proses politiknya dalam keadaan seperti ini, sangat bergantung dengan tekanan politik civil society," kata Airlangga via telepon bersama wartawan di Surabaya, Selasa (11/8).
Pengamat politik tengah menempuh studi di Australia ini mengatakan, hanya dengan tekanan masyarakat yang memperjuangkan haknya memilih pemimpin secara berkala, yang dapat mendorong Parpol berinisiatif menjalankan peran politiknya. Yaitu memilih kandidat Pilkada.
"Penyebabnya (desakan masyarakat) adalah, selama ini ada gap yang begitu besar antara aspirasi warga dan dinamika politik elite partai. Partai politik terjebak dalam logika kepentingan elite, sehingga melupakan untuk menyapa warga," ujar Airlangga.
Akibatnya, kata Airlangga, pada momen-momen penting seperti pilkada serentak, parpol 'gagap' merekrut pemimpin potensial ketika harus berhadapan dengan figur populer seperti Risma.
"Sehingga tidak mengherankan apabila muncul dugaan akan indikasi pembegalan politik, yang selama ini dituduhkan kepada partai-partai yang enggan mengusung calonnya untuk melawan Risma. Tapi ini suatu tindakan politik yang ceroboh, karena tidak memperhitungkan bahwa publik sekarang semakin kritis terhadap elite," ucap Airlangga.
(mdk/ary)