Peneliti: Pulau Komodo rawan privatisasi
Upaya privatisasi kawasan TNK dengan modus menjalankan usaha wisata alam dan konservasi ini memicu kontroversi.
Pengelolaan pulau dan pesisir di Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat, NTT, terus menyimpan persoalan. Praktik jual beli pulau, pencaplokan orang pribadi atas tanah dan pulau serta proses perizinan pengelolaan yang terkesan ditutup-tutupi menjadi momok yang mengkhwatirkan jatuhnya TNK ke tangan pribadi (privatisasi).
"Latarnya pun beragam, mulai dari sengkarut manajemen pengelolaan sampai pada proses peminggiran masyarakat lokal dalam kawasan dan sekitarnya hingga alasan pengelolaan atas nama Pariwisata sehingga benar-benar memunculkan banyak kekhwatiran dari publik," kata Penanggungjawab tim peneliti LSM Sunspirit For Justice and Peace Gregorius Afioma di Kupang, NTT, Jumat (23/10).
Menurut Gregorius, ada empat fakta sebagai contoh kasus yang menjadikan TNK sarat dengan praktik privatisasi. Keempat fakta itu yakni pengklaiman kepemilikan pulau dalam kawasan TNK sebagai milik pribadi, jual beli pulau di kawasan TNK dan Kawasan Taman Nasional di mana ada komodo justru diprivatisasi pengelolaannya oleh perusahaan swasta dengan mengabaikan prioritas konservasi dan mengancam keberadaan komodo. Selain itu, penyewaan pulau untuk jangka panjang juga menimbulkan soal karena muncul pengklaiman terhadap akses dan manfaat pulau, mengusir masyarakat nelayan untuk mencari makan di sekitarnya.
"Kasus yang paling terang adalah Kasus Pulau Mawang. Pulau Mawang adalah salah satu pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang termasuk dalam kawasan Zona Rimba. Namun pulau tersebut diklaim oleh pemilik Alam Kulkul. Dan sebagai bukti pihak pemilik memasang plang di kawasan ini karena mengklaim telah memiliki sertifikat tanah atas pulau tersebut," ujarnya.
"Fakta ini menunjukkan pencaplokan sumber daya publik. Bagaimana mungkin ada perusahaan yang mengklaim memiliki property pribadi di dalam Taman Nasional dan kawasan konservasi," katanya.
Ironisnya, kata dia, Alam Kulkul merupakan milik Haji Feisol, WNI dari Malaysia (keponakan Mahatir Mohamad). Alam juga adalah pemilik PT Jaytasha Putrindo Utama (PT JPU) yang memiliki 49 persen saham PT Putri Naga Komodo bersama TNC (perusahaan konservasi berbasis di Amerika) yang oleh pemerintah diberi hak mengelola Taman Nasional Komodo sejak 2004-2012. Tahun 2013, katanya PT Putri Naga Komodo lenyap tanpa pertanggungjawaban publik dan meninggalkan begitu saja agenda-agenda konservasi.
"Semula perusahaan ini mengaku mengadakan konservasi dan tidak melakukan bisnis, tetapi nyatanya sekarang Feisol mengklaim kepemilikan pulau Mawang dalam taman nasional ini. Pertanyaan benarkah Alam Kulkul mengantongi sertifikat atas Pulau Mawang?" katanya.
Dia memaparkan, untuk kasus kedua adalah kasus Pulau Pungu Besar seluas 117 hektare yang diiklankan di website milik I Gede Sanat Kumara yang beralamat di Bali yakni skyproperty.com seharga Rp 124.200.000.000. Munculnya berita terkait penjualan Pulau Punggu menimbulkan kontroversi luas dan bahkan nasional. Ragam tanggapan bermunculan. Mulai dari aparat desa, kecamatan sampai pemerintah pusat. Namun amat disayangkan jawaban pemerintah pusat terkait itu seperti belum menunjukkan sikap yang tegas.
Kasus ketiga adalah kawasan Taman Nasional di mana ada Komodo justru diprivatisasi pengelolaannya oleh perusahaan swasta dengan mengabaikan prioritas konservasi dan mengancam keberadaan komodo.
"Kasus konkretnya adalah Pulau Padar yang oleh Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan pengelolaan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism dengan izin kontrak selama 52 tahun dan bisa diperpanjang untuk Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam/IUPSWA," tukas dia.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, ada dua perusahaan lain pun menyusul yakni PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) dan PT Karang Permai Propertindo (PT KPP). PT KSL akan menguasai lahan seluas 22,10 ha. Proses izinnya sampai catatan ini dibuat sudah definitif dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan sedang diproses.
Sementara itu PT KPP akan menguasai lahan 49,20 ha dalam kawasan TNK dan sekarang sedang melakukan proses izin untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
"Upaya privatisasi kawasan Taman Nasional Komodo dengan modus menjalankan usaha wisata alam dan konservasi ini memicu kontroversi di dalam taman nasional sendiri. Sebagian menolak termasuk Badan Taman Nasional Komodo sendiri sebagai lembaga teknis," tutup Gregorius.