Pengamat: Pilwali Surabaya ditunda jadi pembelajaran politik Risma
"Selama ini, komunikasi politik tidak dibangun oleh Risma. Dia lebih sibuk dengan game-nya sendiri," ujar Sukowidodo.
Peristiwa politik yang cukup mengejutkan jelang Pilwali Surabaya, Jawa Timur, khususnya terkait mundurnya bakal calon wakil wali kota, Haries Purwoko yang secara tiba-tiba saat pendaftaran ke KPU Surabaya) Senin sore kemarin (3/8), membuat pengamat komunikasi politik asal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Sukowidodo ikut angkat bicara.
Mundurnya Haries yang mendampingi Dhimam Abror untuk melawan pasangan incumbent Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana, menjadi pukulan telak bagi warga Surabaya, yang ingin Pilwali tetap digelar di Tahun 2015 ini. Karena dengan mundurnya Haries, yang secara tiba-tiba itu, secara otomatis Pilkada Surabaya, tetap dihuni satu pasangan calon (Paslon).
Dan secara otomatis pula, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pilkada, Pilwali Surabaya diundur 2017.
"Peristiwa ini, menjadi pembelajaran bagi Risma. Komunikasi dia sangat buruk dengan partai-partai. Perlu diingat, dalam menjalankan roda pemerintahan, Risma tidak bisa asyik dengan game-nya sendiri," terang Sukowidodo di obrolan santai bersama wartawan di Surabaya, Selasa (4/8).
Sebagai wali kota, lanjut dia harus menjalankan pemerintahannya bersama DPR dan partai-partai politik. "Selama ini, komunikasi politik tidak dibangun oleh Risma. Dia lebih sibuk dengan game-nya sendiri, membangun taman, bikin sekolah dan lain sebagainya itu, semaunya dilakukan sendiri tanpa ada komunikasi dengan partai-partai politik," analisanya.
Memang, diakui Suko, secara fisik, kemampuan Risma memimpin Surabaya sudah terbukti. Tapi tidak harmonis dengan partai-partai politik. "Karena komunikasinya tidak terbangun. Bahkan dengan partai pengusungnya sendiri juga tidak terbangun," cetusnya.
Karena sikap acuh Risma terhadap partai-partai politik inilah, yang menyebabkan terhentinya proses kaderisasi dalam partai. "Ini salah satu faktor. Partai-partai gagal dalam hal kaderisasi. Termasuk PDIP sendiri, sebagai partai pengusung Risma. PDIP tidak punya kader terbaik di Surabaya. Risma ini kan masuk menjadi kader baru saja, saat akan mendaftar. Dia bukan kader PDIP sebelumnya," paparnya lagi.
Masih kata Suka, tidak terjalinnya hubungan komunikasi antara eksekutif dan legislatif di Kota Pahlawan ini, justru berimbas pada Pilkada serentak yang digelar di Surabaya, yang sedianya akan digelar pada 9 Desember 2015. Namun, karena hanya ada satu pasangan calon (Paslon), yaitu Risma-Whisnu, Pilwali Surabaya menjadi ditunda 2017, dan akan dijabat oleh Plt selama dua tahun.
"Ketidakharmonisan hubungan antar wali kota selaku pembina dengan partai-partai politik inilah, kan wali kota itu sebagai pembina partai-partai, jika komunikasinya tidak berjalan, bagaimana proses kaderisasi untuk melahirkan calon-calon mumpuni bisa berjalan."
Komunikasi yang dibangun oleh eksekutif dan legislatif, masih kata Suko berpendapat, tujuannya untuk mengantisipasi kejutan-kejutan yang kerap terjadi dalam proses demokrasi.
"Seperti Pilwali Surabaya yang hanya ada calon tunggal. Kalau komunikasi bisa dijalankan dengan baik, ini bisa mengantisipasi kejadian di Pilwali seperti sekarang ini," nilainya.
Selain faktor komunikasi yang bisa menghambat proses kaderisasi parpol, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair Surabaya ini juga mengungkap beberapa faktor lain, yang juga terjadi di daerah-daerah lain.
"Berdasarkan survei Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Unair, disebutkan hingga Febuari 2015 ini, ada 18 persen warga Jatim yang tahu akan ada Pilkada serentak, 82 persen lainnya tidak tahu. Parahnya lagi, yang tahu tokoh yang maju di Pilkada hanya 10 persen, sisanya tidak tahu," katanya berdasarkan survei.
Untuk masalah yang satu ini, Suko menilai menjadi catatan penting bagi KPU dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat. "Kondisi ini membuktikan, sosialisasi KPU tidak berjalan efektif. Ini harus menjadi catatan khusus bagi KPU, agar demokrasi bisa berjalan baik," tandasnya.