Penjelasan hakim soal perintah penahanan Ahok
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan agar terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditahan setelah divonis penjara selama dua tahun.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan agar terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditahan setelah divonis penjara selama dua tahun.
"Menimbang bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa," kata Abdul Rosyad, anggota Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara saat pembacaan putusan perkara Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5).
Rosyad menyatakan keadaan yang memberatkan terdakwa tidak merasa bersalah, perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan dan mencederai umat Islam, perbuatan terdakwa dapat memecah kerukunan antar umat beragama dan antar golongan. Sementara, kata dia, keadaan yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa bersikap sopan di persidangan, dan terdakwa bersikap kooperatif selama mengikuti proses persidangan.
"Menimbang bahwa selama penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan perkara ini terhadap terdakwa tidak dilakukan penahanan dan terhadap penahanan terdakwa dipertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat 2 a KUHAP menyebutkan pengadilan dalam menjatuhkan putusan jika terdakwa tidak ditahan dapat diperintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan," kata Rosyad.
Selanjutnya, kata dia, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu dan penjelasannya yang menyebutkan bahwa perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau pun mengulangi tindak pidana lagi.
"Menimbang bahwa Pasal 21 ayat 4 a KUHAP menyebutkan penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih," tuturnya.
Kemudian, kata Rosyad, menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengadilan terdakwa telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 a KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
"Menimbang bahwa Pasal 197 ayat 1 k KUHAP menyebutkan bahwa surat putusan pemidanaan menyebutkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan," kata Rosyad.
Selanjutnya, Rosyad menyatakan menimbang bahwa pasal 197 ayat 2 KUHAP menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan ini batal demi hukum.
"Menimbang berdasarkan uraian tersebut di atas, pengadilan menetapkan agar terdakwa ditahan," kata Rosyad.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut Ahok dengan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
"Maka disimpulkan perbuatan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah secara sah, terbukti, dan meyakinkan telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua pasal 156 KUHP," kata Ali Mukartono, Ketua Tim JPU saat membacakan tuntutan tersebut pada Kamis (20/4).
Sebelumnya, Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Pasal 156a KUHP menyebutkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sementara menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.