Pernyataan Menko Polhukam Soal Restorative Justice Disebut Tidak Memihak Korban
"Ada kekeliruan memahami lahirnya restorative justice. Titik sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku."
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa pendekatan restorative justice terhadap korban pemerkosaan lebih kepada membangun harmoni antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat agar tidak gaduh. Sehingga, menurut Mahfud, pemerkosa tidak harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum.
"Dalam masyarakat adat begitu, makanya dulu hukum tidak perlu. Orang ribut-ribut datang ke kepala adat. Misalnya, kalau hanya masalah sepele diselesaikan baik-baik dengan musyawarah. Kalau agak serius, lindungi korbannya. Itu restorative justice," kata Mahfud dalam acara Rapim Polri, Selasa (16/2).
-
Mengapa Mahfud MD dikabarkan mundur dari Menko Polhukam? Dia menilai, mundurnya Mahfud dari kabinet lantaran ingin fokus berkampanye dan mengikuti kontestasi di Pilpres 2024.
-
Apa yang dilakukan Mahfud Md selama menjadi Menko Polhukam? Selama menjabat sebagai Menko Polhukam, ada sejumlah gebrakan yang pernah dilakukan oleh Mahfud Md. Salah satunya, Menko Polhukam Mahfud Md membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengusut kasus Intan Jaya, Papua yang menewaskan empat orang, yakni warga sipil dan pendeta serta dua anggota TNI.
-
Apa pesan Mahfud MD kepada Pangdam, Bupati, dan Wali Kota? Untuk itu Mahfud berpesan kepada Pangdam, Bupati, Wali Kota agar tidak menjemput dan menjamunya setiap ke daerah.
-
Apa alasan Mahfud Md memutuskan untuk mundur dari jabatan Menko Polhukam? Hari ini saya sudah membawa surat untuk presiden, untuk disampaikan ke presiden langsung tentang masa depan politik saya, yang belakangan ini menjadi perbincangan publik. Dan surat ini akan disampaikan begitu saya mendapat jadwal ketemu presiden. Tapi saya bawa terus karena memang surat ini begitu saya diberi waktu langsung saya ketemu langsung saya sampaikan surat ini," kata Mahfud dalam pernyataannya di Lampung, Rabu.
-
Siapa yang membantah pernyataan Mahfud MD? Hal ini pun dibantah langsung oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto.
-
Kenapa Kepala BP2MI bertemu Menkopolhukam? Pertemuan berlangsung di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (5/3). Kepala Badan Perlindungan Pekerjaan Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahyanto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (5/3/). Benny bercerita, pertemuan itu dalam rangka mengantisipasi maraknya kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), khususnya bermodus Pekerja Migran Indonesia (PMI). Untuk itu, perlu adanya kerja sama antar lembaga dengan kementerian.
Pernyataan Mahfud tersebut menuai kritikan dari beberapa lembaga pegiat demokrasi dan keadilan, yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).
Mewakili ketiga lembaga tersebut, Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menilai bahwa pernyataan Mahfud tersebut kurang tepat. Dia mengatakan, pernyataan tersebut justru tidak memihak kepada korban dan tidak sejalan dengan prinsip restorative justice (RJ).
"Pernyataan Menko Polhukam yang menilai restorative justice pada kasus pemerkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat, meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip RJ," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya yang diterima merdeka.com, Kamis (18/2).
Erasmus menjelaskan, Mahfud keliru dalam memahami nilai-nilai restorative justice, karena kata dia, restorative justice sebenarnya lahir sejalan dengan gerakan penguatan hak korban. Sehingga Restorative Justice bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat.
"Ada kekeliruan memahami lahirnya restorative justice. Titik sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku, untuk mencapai harmoni agar proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat memulihkan atau restoratif," kata Erasmus
Sehingga kata dia, restorative justice pada kasus pemerkosaan tetap dapat diterapkan, namun sebelum menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku, yang harus diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya. Selain itu, harus dipastikan juga bisa membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya.
"Ketika dua hal itu sudah dipenuhi, barulah kemudian menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban," ujarnya.
ICJR, IJRS, dan LIeP juga menilai pernyataan Mahfud tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban perkosaan ataupun kekerasan seksual.
"Padahal berdasarkan survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 lalu terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93 persen korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya, salah satu alasan mendasar adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban," ungkapnya.
Sementara itu, berdasarkan survei terbaru IJRS dan Infid tahun 2020 yang dipaparkan Erasmus, 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual. Oleh sebab itu, ICJR, IJRS dan LeIP meminta Mahfud MD untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut.
"Dengan adanya pernyataan Menko Polhukam ini, aktor high level yang seharusnya memberikan jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban. Jadi kami meminta Menko Polhukam untuk meluruskan pernyataannya," kata Erasmus.
Dia juga berharap, sebagai Menko Polhukam, Mahfud bisa memberikan jaminan bahwa penerapan restorative justice bisa dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama.
(mdk/rhm)