Polemik PK berulang, Jimly sebut peradilan Indonesia bermasalah
Jimly menyatakan seharusnya tidak perlu ada pembatasan dalam pengajuan peninjauan kembali.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyebut proses peradilan di Indonesia masih bermasalah. Dia mendasarkan pandangannya pada adanya ketentuan yang membatasi Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali.
"Ada yang salah dengan proses hukum kita," ujar Jimly di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Jakarta, Jumat (9/1).
Jimly menyatakan seharusnya tidak perlu ada pembatasan dalam pengajuan PK. Dia membandingkan hal tersebut dengan negara yang memiliki proses peradilan sudah ajeg atau mapan seperti di Italia.
Dia sempat bertanya kepada ketua MK dan MA Italia di Roma terkait keberadaan pembatasan PK. Dia menceritakan keduanya mengatakan tidak ada pemberlakuan PK di sana.
"Dua-duanya bilang enggak ada pembatasan. PK seingat dia juga baru satu kali. Itu memang jarang-jarang karena proses peradilan itu sudah exhausted (melelahkan). Betul-betul sudah tidak ada lagi fakta-fakta yang ketinggalan," ungkap dia.
Selanjutnya, Jimly pun menyindir jika isu HAM menjadi dasar pembatasan PK. Menurut dia, seharusnya PK tidak dibatasi jika menggunakan alasan HAM.
Tetapi, pada praktiknya proses peradilan justru bertentangan dengan HAM. Hal ini lantaran banyak kasus yang menjadi telantar. "Kebanyakan perkara tidak ada kepastian," kata dia.
Lebih lanjut, Jimly menilai perlu ada pembenahan terhadap proses peradilan. Hal ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. "Zaman sekarang sudah berubah, mestinya kita buka peluang itu. Kalau sistem peradilan baik, tidak mungkin ada PK berulang kali," ungkap dia.