Pro kontra operasi bantuan tentara asing di Aceh saat tsunami
Operasi kemanusiaan saat itu memang sangat dibutuhkan. Di satu sisi pemerintah RI sedang memerangi GAM.
Bencana tsunami di Aceh tahun 2004 menjadi perhatian dunia. Belasan negara mengirimkan bantuan dan personel militer mereka ke Serambi Mekkah. Berbulan-bulan helikopter dan pesawat asing melintasi wilayah Indonesia dalam rangka misi kemanusiaan.
Keberadaan tentara asing di Tanah Rencong usai bencana tsunami sempat menimbulkan banyak kontroversi. Berbagai kecurigaan juga disematkan kepada mereka, apalagi saat itu Indonesia tengah menggelar operasi militer untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Penegasan itu disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kala yang menyatakan, TNI sanggup melaksanakan operasi bantuan tanpa bantuan militer asing dalam tiga bulan setelah tsunami menerjang bumi Aceh. Pernyataan itu sebagai tanggapan atas usul Koordinator Bantuan Kemanusiaan, PBB, Jan Egeland di New York agar batas akhir kehadiran militer asing pada tanggal 26 Maret 2005 ditinjau kembali.
Bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh membuka gerbang yang selama ini terkunci bagi tentara maupun jurnalis asing. Lebih dari 14 ribu personel tentara AS beroperasi di lepas pantai Sumatera untuk memberikan bantuan pada penghujung tahun 2004 itu. Mereka juga mengerahkan 57 helikopter untuk menjalani ratusan misi kemanusiaan.
Singapura mengirimkan 7 buah pesawat masing-masing 1 buah pesawat Singa 6151 yang di standbykan di Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM) Banda Aceh, 4 buah Helikopter Chinook dan 2 buah pesawat Hercules C-130 yang disiagakan di Lanud Medan. Malaysia 2 buah pesawat M 23-15 dan M 23- 22 masing-masing di standbykan di Lanud SIM, Banda Aceh.
Amerika Serikat 14 pesawat masing-masing 3 buah pesawat Hercules C-130 Sky Hawk disiagakan di Medan, 4 buah Hercules C-130 di Lanud Halim PK Jakarta dan 7 buah pesawat Helikopter di Lanud SIM Banda Aceh. Perancis mengerahkan 5 buah pesawat masing-masing 1 pesawat C-160 di Lanud Medan dan 4 buah Helikopter Puma. Jepang 1 pesawat Hercules C-130/35-1072 di Lanud SIM Banda Aceh. New Zeland 1 pesawat Kiwi 790 di siagakan di Halim PK Jakarta. Jerman 2 buah Helikopter Sea King. Australia 4 buah pesawat Bell 205 Iroquios.
Khusus AS, mereka mengerahkan armada kapal induk Abraham Lincoln, yang terdiri dari kapal Induk USS Shiloh, kapal perusak USS Benfold langsung dari San Diego, AS yang dipimpin Laksamana Muda Doug Crowder.
Operasi mereka bukan hanya dalam angkutan udara saja, tetapi juga dalam membangun prasarana dan memberi bantuan kesehatan.
Namun, pemerintah saat itu tetap meminta militer asing segera angkat kaki dari Aceh, ketika itu JK merasa yakin infrastuktur yang rusak akibat tsunami bisa segera diperbaiki.
"Indonesia sanggup melaksanakan rencana-rencana yang ada setelah tiga bulan ke depan," ujar JK usai rapat koordinasi tim bantuan di Banda Aceh, Senin (14/2/2005).
Bagi JK, larangan tersebut hanya berlaku bagi militer asing, sedangkan relawan masih dibolehkan melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Ketika itu, JK memperkirakan seluruh fasilitas transportasi darat akan selesai, biaya pengerahan prajurit TNI pun dinilai lebih murah.
Kedatangan militer asing ini dilakukan karena Indonesia membutuhkan transportasi udara, apalagi situasi medan setelah tsunami membuat pasokan bantuan ke daerah-daerah terparah menjadi sulit. Meski ditolak JK, sebaliknya Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto justru meminta pengusiran tentara asing dipertimbangkan kembali.
"Kalau yang masih bertugas membuat aliran air berjalan yang diperlukan, mengapa harus mengusir mereka? Kalau fasilitas rumah sakit dengan obat-obatan memang masih diperlukan, tentu kita tidak akan meminta mereka keluar dari Aceh," ujar Jenderal Endriartono Sutarto.
Akhirnya memang pelan-pelan pasukan asing meninggalkan Bumi Rencong. Setelah operasi kemanusiaan berjalan lancar, tak ada alasan lagi berada di Indonesia.