Produksi listrik dan bioetanol dari tebu, PTPN X benamkan Rp 1,125 T
Mereka optimis bila diterapkan, cara itu bakal menggenjot pendapatan petani tebu.
PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) membenamkan modal Rp 1,125 triliun guna mengembangkan industri berbasis tebu. Rencananya, akhir tahun ini, mereka tak hanya memproduksi gula, tetapi juga industri listrik dan bioetanol.
Dikatakan Dirut PTPN X, Subiyono, investasi akan digunakan buat mengembangkan industri listrik dan bioetanol itu, berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 975 miliar, plus sisa kas internal Rp 150 miliar.
"Arah investasi dan program kami dalam beberapa tahun terakhir, dan masa mendatang adalah mewujudkan industri berbasis tebu yang terintegrasi. Jadi kami tidak hanya memproduksi gula, tapi juga turunan tebu yang lain seperti listrik dan bioetanol," kata Subiyono di Surabaya, Senin (10/8).
Subiyono melanjutkan, investasi itu akan dipakai buat tiga tujuan, yaitu peningkatan efisiensi dan elektrifikasi senilai Rp 250 miliar. Ini dilakukan guna menekan tingkat kehilangan gula (sugar losses). Kemudian memperpendek masa giling tanpa mengurangi produksi gula dan untuk efisiensi SDM.
"Produksi dijalankan dengan sistem first in first out (FIFO), sehingga kualitas tebu dan produksi gula bisa terjaga," ujar Subiyono.
Sejumlah rencana, lanjut Subiyono, antara lain peningkatan efisiensi dan elektrifikasi Pabrik Gula (PG) Tjoekir, Jombang. Dari 4 ribu ton tebu per hari (TCD) menjadi 4,8 ribu TCD. Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto dari 6,5 ribu TCD menjadi 7,2 ribu (TCD).
"Dampaknya, kami targetkan bisa sangat terasa di tahun depan (2016). Di PG Tjoekir misalnya, rendemen ditargetkan bisa di atas 8,5 persen pada 2016, dari posisi saat ini, yaitu sekitar 7,32 persen," ucap Subiyono.
Kemudian yang kedua, kata Subiyono, pembangunan proyek co-generation (pembangkit listrik berbasis limbah padat tebu atau ampas tebu) berkapasitas 50 MW sebesar Rp 296 milar. Secara terbatas, dikatakannya, program ini sudah berjalan di PG Ngadiredjo Kediri. Namun, dengan tambahan investasi diharapkan bisa lebih optimal.
Rp 296 miliar itu, bakal dialokasikan membangun kembali co-generation di PG Ngadirejo berkapasitas 20 MW, PG Tjoekir 10 MW, dan Gempolkrep 20 MW. "Dengan kapasitas itu, tiga unit co-generation tersebut bisa menghasilkan 360 GWH dan 300 hari. Jika harga listrik biomassa seperti ditetapkan pemerintah dipenuhi, yaitu Rp 1.150 per KWH, maka potensi pendapatannya bisa mencapai Rp 414 miliar," ujar Subiyono.
Sayang, menurut Subiyono, selama ini ampas tebu kurang dioptimalkan dan hanya dijual murah buat pakan ternak dan pellet untuk bahan bakar. Padahal, jika dioptimalkan untuk co-generation, nilai tambahnya jauh lebih besar.
"Kami punya potensi kelebihan ampas tebu 280 ribu ton per tahun yang bisa jadi bahan bakar pembangkit. Ini harus dimulai meski banyak yang pesimistis. Di Brasil, pabrik gula sudah mempunyai co-generation berkapasitas lebih dari 3 ribu MW, di India lebih dari 2 ribu MW," ucap Subiyono.
Yang ketiga, investasi itu akan digunakan mengembangkan proyek bioetanol senilai Rp 579 miliar. PTPN X, telah menjalankan satu pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan PG Gempolkrep di Mojokerto dengan kapasitas 30 ribu kiloliter (KL) per tahun.
Dan dengan investasi PMN dan kas internal itu, PTPN X akan membangun satu lagi pabrik bioetanol di kompleks PG Ngadiredjo Kediri. Mereka mengolah limbah cair tebu (tetes tebu/molasses) menjadi fuel grade ethanol berkapasitas 30 ribu kiloliter per tahun. Diharapkan, proyek ini tuntas di akhir 2017 atau awal 2018.
Subiyono merinci, jika harga bioetanol per liternya adalah Rp 9.200, maka potensi pendapatan akan mencapai Rp 276 miliar per tahun.
"Dengan pemanfaatan produk tebu non-gula seperti listrik dan bioetanol ini, bisa meningkatkan pendapatan petani. Pabrik gula tidak hanya mengandalkan penjualan gula, sehingga berani memberikan nilai bagi hasil lebih besar kepada petani tebu," harap Subiyono.
Selama ini, diakui Subiyono, bagi hasil gula adalah 66 persen buat petani, dan 34 persen bagi pabrik. Jika diversifikasi produk bisa dilakukan, maka bagi hasil bisa menjadi 70 persen untuk petani, dan 30 persen untuk pabrik.
"Kami menghitung, selisih bagi hasil itu bisa mencapai Rp 45 miliar yang bisa dibagikan ke petani. Itu khusus untuk tiga unit PG yang kami sentuh dengan investasi bioetanol dan listrik, yaitu PG Ngadiredjo, Tjoekir dan PG Gempolkrep," tutup Subiyono.