Rapor SBY di bidang pangan rendah, Jokowi harus kurangi impor
Jokowi diminta memperkuat peran Bulog ke depan.
Peneliti LIPI di bidang Politik Daerah sekaligus peneliti di The Indo Strategi Fondation (TISF) Pandu Yusni Adaba menyatakan bahwa rapor pemerintahan SBY di sektor pangan masih masih rendah. Hal itu menurutnya dilihat dari aspek distribusi lahan dan sirkulasi komoditas.
"Rencana distribusi lahan dari 8 juta hektare yang direalisasi hanya 8.000, itu kalau satu sampai sepuluh skalanya, jadinya berapa? Di sisi sirkulasi komoditas, seperti kedelai, permintaan masyarakat 2,4 juta ton, tapi kemampuan penyediaannya kalau dibulatkan hanya 900 ribu ton," papar Pandu dalam acara diskusi di Galeri Cafe di Cikini, Jakarta, Rabu, (17/9).
Menurutnya, penanganan soal pangan harus berbasis pada pemetaan wilayah yang jelas sehingga pertanian yang dibangun sesuai dengan kondisi geografisnya.
"Yang paling dibutuhkan pertama-tama adalah pemetaan wilayah lengkap dengan jenis tanahnya, sehingga kita bisa tahu di wilayah itu cocok untuk pertanian apa," ujarnya.
Senada dengan Pandu, Sekjen HKTI Benny Pasaribu mengemukakan bahwa saat ini kebijakan pangan nasional terlalu liberal. Hal itu terlihat dari tingginya angka impor pangan pemerintah.
"Kita terlalu liberal. Terlalu andalkan impor untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri," katanya.
Oleh karenanya, menurut Benny, agar bangsa Indonesia keluar dari krisis pangan, pemerintahan Jokowi-JK perlu persiapkan Bulog secara baik untuk membeli hasil pertanian masyarakat.
"Persiapkan Bulog, untuk tujuan dua hal. Satu menjaga harga panen tak sampai jatuh, kedua stok nasional, maka kita usulkan harga dasar, sebagai pegangan, bukan harga pembelian sebagai dasar lindungi petani," paparnya.