Remaja 19 Tahun Diciduk Densus, Generasi Muda Dinilai Rentan Terpapar Radikalisme
Menjaga generasi muda dari radikalisasi memerlukan pendekatan komprehensif dan sinergi berbagai pihak. Termasuk keluarga, masyarakat, dan negara.
Radikalisme dan terorisme ancaman bagi generasi muda yang rentan terhadap pengaruh ideologi ekstrem. Terbaru remaja berinisial HOK yang berencana beraksi di Batu, Malang diciduk Densus 88.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengungkapkan upaya menjaga generasi muda dari radikalisasi memerlukan pendekatan komprehensif dan sinergi berbagai pihak. Termasuk keluarga, masyarakat, dan negara.
- Generasi Muda Harus Waspadai Propaganda Kelompok Radikal di Media Sosial
- Cegah Bahaya Radikalisme, Densus 88 Dilibatkan Dalam Pengamanan Pilkada Serentak
- Peringatan HUT RI ke-79, Perkuat Nilai Pancasila di Tengah Keberagaman Anak Bangsa
- Deklarasikan Gen Z Riau: Pemilih Muda Cerdas Menuju Pemilu Damai
"Sebagai upaya pencegahan terhadap swa-radikalisasi di kalangan generasi muda, diperlukan peran keluarga yang proaktif dalam menanamkan literasi digital yang baik. Selain itu, sebaran narasi positif konsisten dan penegakan hukum tegas menjadi faktor pendukung," ujar Noor Huda, Kamis (8/8/2024).
Dia menjelaskan, gejala terpaparnya seseorang atau kelompok tertentu, bisa dikenali dengan menyoroti tiga aspek atau juga dikenal dengan konsep 3N, needs, network, dan narration.
"Needs. Mungkin si individu yang terpapar ini sedang galau, mencari identitas, ataupun punya keinginan untuk dihormati. Pemenuhan kebutuhan emosional ini bisa jadi salah satu pintu masuknya seseorang terhadap kelompok radikal," kata Noor Huda.
Selanjutnya network dengan model dan jangkauan jaringan ideologi transnasional yang semakin meluas. Jika masa lalu kelompok radikal terorisme hanya offline, tapi sekarang itu orang bisa melalui dunia maya.
"Narration. Kesiapan lingkup keluarga dalam menyikapi narasi intoleran akan menentukan seberapa tinggi resistensi Indonesia terhadap paham radikal terorisme. Sedari dini, generasi muda harus bisa memahami bahwa apa yang ada di internet itu tidak semuanya benar," jelasnya.
Noor Huda menjelaskan bahwa radikalisme dan ekstremisme tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi juga masalah global. Fenomena destabilisasi sosial politik dengan skala internasional bisa direduksi dengan memahami relasi antara dunia online dan offline dalam penyebaran ideologi radikal.
Ia menilai, kewaspadaan akan isu semacam ini menjadi semakin penting, mengingat potensi kerugian besar yang dapat ditimbulkan jika swa-radikalisasi makin marak terjadi.
Menurut Noor Huda, salah satu upayanya adalah melalui program Duta Damai dan Sekolah Damai yang diselenggarakan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang memiliki peran penting dalam penanggulangan terorisme.
Program-program ini tidak hanya mengajarkan literasi digital tetapi juga mempromosikan pesan-pesan damai dan toleransi, khususnya pada generasi muda.
"Dalam perspektif penegakan hukum, sampai dengan saat ini Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan yang belum kunjung usai," tuturnya.
Noor Huda berpendapat bahwa ada tiga pekerjaan rumah yang mendasar dalam penanggulangan terorisme. Pertama residivisme masih adanya pelaku terorisme yang kembali melakukan kejahatan serupa setelah menjalani hukuman.
"Menurut data BNPT, angka residivisme ini berkisar antara 8-9%. Jumlah yang kecil tentu tidak bisa disepelekan karena dampaknya bisa merenggut nyawa banyak orang," ungkapnya.
Selanjutnya, radikalisasi online yang prosesnya terjadi melalui internet dan masih menjadi tantangan besar. Terakhir perkembangan teknologi yang cepat membuat regulasi seringkali tertinggal dalam penerapannya.
"Hal ini memudahkan kelompok radikal untuk memanfaatkan celah-celah dalam regulasi untuk melakukan kegiatan ilegal, seperti pembelian bahan kimia yang dapat digunakan untuk membuat bahan peledak melalui toko online," tandasnya.