SBY ajarkan masyarakat mengemis melalui BLSM
Banyak warga miskin tak menerima BLSM, malah pengusaha kelapa sawit mendapat BLSM.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan kebijakan dengan program dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, implementasi program dan pencairan BLSM dinilai banyak pihak bermasalah dan bermuatan politis menjelang Pemilu 2014.
Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 9,3 triliun untuk 62 juta masyarakat miskin atau 15 juta rumah tangga sasaran (RTS) yang dianggap layak menerima BLSM. Data itu berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kenyataan di lapangan, tidak semua warga miskin mendapatkan BLSM sebaliknya warga kaya malah terdaftar sebagai penerima BLSM sebesar Rp 150 ribu setiap bulannya. Pemerintah berkilah, salah satu menterinya menyebutkan data itu menggunakan statistik tahun 2011.
Salah satu contoh, Warkem (65), janda tua yang tinggal di rumah berukuran 4x5 meter di RT 03/RW 01 Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah. Warkem hanya hidup mengandalkan bantuan masyarakat sekitar yang mengirimkan sayur-mayur atau lauk-pauk.
Tetangga Warkem, Sri Haryati (38) mengaku kaget, Warkem yang termasuk dalam golongan tidak mampu tak tersentuh BLSM. Padahal menurut Sri, dirinya dan tetangga lain sukarela mengantar makanan kepada Warkem setiap hari.
"Kadang sehari saya kirim makan 2-3 kali. Saya tidak tega melihat kehidupan Bu Warkem yang hidup tak menentu," paparnya saat ditemui.
Berbeda dengan Lilis Hartono (47), warga Jalan Dieng RT 04 RW 01, Banaran, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, mengaku kesal dengan program BLSM. Apalagi pria yang juga menjabat sebagai ketua RT tersebut, juga masuk dalam daftar penerima.
Kekesalan tersebut dituangkan lewat sebuah aksi, bersama tujuh warga lainnya. Dengan telanjang dada, Lilis datang ke tempat pembagian BLSM yang dipusatkan di kantor Balai Desa Sanggrahan, Grogol, yang berjarak 1 Km dari rumahnya. Kekesalan tersebut ia tuliskan dengan sebuah kalimat di dada dan punggungnya, "karena SBY Aku Ngemis".
"Program BLSM ini benar-benar kacau. Saya yang tidak membutuhkan, kenapa malah dapat KPS. Sementara warga saya yang tua renta, tidur hanya di emperan malah tidak dapat apa-apa," ujar Lilis kepada wartawan di Sukoharjo, Senin (15/7).
Menurut Lilis, sebenarnya, ia dan tujuh warga lainnya telah menolak mendapatkan KPS. Namun setelah mengetahui ada lima warganya yang tidak mampu, ia bersama tujuh warganya terpaksa mengambilnya. "Ini saya terpaksa ambil. Nanti mau saya bagikan ke warga saya yang butuh," katanya.
Lilis mengingatkan kepada SBY bahwa pembagian BLSM adalah bentuk pembodohan rakyat. Pria yang sehari-hari berjualan air isi ulang tersebut menilai BLSM adalah cara mengajari rakyat untuk mengemis. "Kita diajari SBY untuk mengemis, bukannya mendidik untuk mandiri. 15 juta penduduk negeri ini disuruh SBY untuk mengemis. Berebut satu dengan yang lainnya, bertengkar dengan saudara sendiri," tegasnya.
BLSM juga bermasalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Warga RT 03 Pedukuhan Grogol, Desa Mulyodadi, Kabupaten Bantul, membakar 28 surat undangan pengambilan kartu perlindungan sosial untuk pencairan bantuan langsung sementara masyarakat.
"Aneh, juragan batik punya mobil dan rumah bagus dapat BLSM, sementara warga saya yang jompo, miskin dan serba kekurangan, malah tidak dapat. Daripada menimbulkan kecemburuan sosial, saya bakar saja semua," kata Ketua RT 03 Pedukuhan Grogol, Wahono di Bantul, Kamis (4/7).
Wahono menyebutkan di RT 03 Pedukuhan Grogol terdapat 48 KK, 28 KK di antaranya terdaftar sebagai penerima BLSM dari pemerintah pusat. Namun, setidaknya ada 14 KK yang tergolong miskin yang tidak terdaftar sebagai penerima BLSM.
"Kami warga RT 03 sepakat membakar surat undangan pengambilan kartu perlindungan sosial (KPS), sebagai bentuk protes atas pembagian BLSM yang tidak tepat sasaran," terangnya.
Karut marut BLSM juga terjadi Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Di daerah ini, justru penerima BLSM adalah orang-orang yang memiliki mobil pribadi satu hingga dua unit dan memiliki kebun sawit.
Tokoh Masyarakat Desa Air Merah Kabupaten Mukomuko, Darussalam, mendesak pemerintah mendata ulang program tersebut agar tepat sasaran untuk warga. Darussalam menyebutkan, janda miskin saja di desa itu tidak terdaftar sebagai penerima BLSM sedangkan kepala desa dan semua perangkatnya terdaftar dan menerima BLSM.
"Saya tidak ada maksud lain atas BLSM ini, namun sangat kasihan kepada warga yang miskin tidak menikmati subsidi dari pemerintah pusat melainkan dinikmati orang - orang yang sudah mampu," ujar Darussalam, Selasa (16/7).
Malah penyelewengan dana BLSM terjadi di Desa Terantang Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau. Setiap warga dipaksa perangkat desa menyerahkan uang sejumlah Rp 50 ribu per orangnya. Jika menolak, jatah BLSM dan kartunya tidak akan diberikan perangkat desa.
"Kami dipaksa oleh perangkat desa. Mulai Dari RT dan Kepala Desa. Jika tak mau, BLSM tak akan diberikan," ujar warga Desa Terantang yang ikut mendapat BLSM.
Selain itu, warga desa juga di paksa membuat surat pernyataan yang menyatakan kesukarelaan masyarakat menyerahkan uang Rp 50 ribu. "Kata perangkat desa, pemotongan itu akan di berikan kepada masyarakat Desa lainnya yang tidak kebagian BLSM. Padahal, hampir seluruh Warga Desa kebagian BLSM. Saya rasa, itu akal-akalan saja," ujar pria yang tidak mau disebutkan identitas ini.
Karut marut BLSM di atas merupakan beberapa contoh amburadulnya program pemerintah. Padahal pemerintah selalu menyebut program tersebut untuk membantu rakyat miskin.