Sebelum diskusi Tan Malaka digelar, penyelenggara temui Ganjar
"Itu merupakan bentuk dukungan dan inisiatif dari para peserta dan partisipan diskusi," kata Rukardi.
Diskusi dan bedah buku Tan Malaka yang awalnya akan digelar di Gerobak Arts Histeria Kos Jl. Stonen 29, Kota Semarang dan mendapat tekanan dan penolakan dari berbagai ormas. Akhirnya penyelenggara memindahkan ke kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Jalan Pleburan Raya Kota Semarang, Jawa Tengah Senin (17/2) malam.
Namun, sebelum diskusi digelar, beberapa panitia penyelenggara yang terdiri dari elemen; Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Komunitas Histeria Art Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang itu pihak penyelenggara menemui Ganjar Pranowo.
Hadir penyelenggara yang menemui Ganjar Pranowo yaitu Koordinator KPS Rukardi Ahmadi, Sekretaris KPS Yunantyo, Anggota KPS Cahyono, Anggota KPS Yayan dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang M Syukron.
Tujuan mereka untuk menemui Ganjar yaitu melakukan klarifikasi terhadap petisi yang sempat muncul di dunia maya atau komunitas sosial media terkait dukungan terhadap pelarangan berbagai ormas digelarnya diskusi di Gerobak Arts Hysteria Kos di Jl. Stonen 29, Kota Semarang.
"Itu merupakan bentuk dukungan dan inisiatif dari para peserta dan partisipan diskusi. Bukan dari pihak penyelenggara yang membuat aksi dukungan melalui change.org. Mereka merasa gubernur harus bisa melindungi keberlangsungan diskusi,"ungkap Koordinator KPS Kota Semarang Rukardi Achmadi diawal pertemuan dengan Ganjar Pranowo di Lantai 2 Gedung Gubernuran, Pemprov Jateng Senin(17/2).
Selain mengklarifikasi soal petisi, pihak penyelenggara juga menyampaikan bagaimana kronologis dan terjadinya aksi penolakan secara bertubi-tubi. Hingga akhirnya, untuk menjaga stabilitas keamanan pelaksanaan diskusi harus dipindah ke FIB Undip Jl. Pleburan Raya Semarang.
"Seolah ada tangan-tangan besar yang ikut dalam upaya menolak diskusi. Mereka sebarkan isu diskusi akan sebarkan faham komunisme dan ditunggangi oleh eks-eks tapol. Kami tidak tahu siapa mereka dan hubunganya apa antar mereka,"jelasnya.
Kemudian, ada wacana bahwa diskusi akan dipindahkan ke kampus muncul. Akhirnya, setelah dirundingkan dengan Harry Poeze, penulis buku Tan Malaka yang akan didiskusikan dan dibedah, penyelenggara dan pem bicara sepakat untuk menggelar diskusi di kampus.
"Saya paham ini wilayahnya polisi tapi bukan wilayahnya gubernur. Ada wacana kenapa tidak dikampus? saya sampaikan ke Pak Poeze, kemudian Pak Poeze malah setuju diskusi dilakukan dikampus,"ungkapnya.
Ganjar menanggapi terjadinya aksi penolakan terhadap diskusi ini merasa terkejut. Apalagi, dirinya merasa diboombardir usai munculnya petisi kepada dirinya terkait aksi meminta dukungan pelaksanaan diskusi dalam petisi di change.org.
"Saya orang yang terkejut dengan kejadian ini. Saya berpikir ini diskusi semester satu. Saya tidak menyangka seheboh ini. Saya tidak menyangka saya diboombardir. Saya sengaja tidak menjawab karena tiga hari ini saya agak full. Kok di sosmed nembaknya kesaya. Ini ada apa? Sore ini sepakat pindah tempat ya panitia,"ungkapnya.
Ganjar merasa apa yang terjadi didunia maya banyak komentar-komentar yang menyerang dirinya. Padahal, kewenangan untuk memberikan ijin dirinya. Namun, pihak kepolisian yang berwenang memberikan ijin itu.
"Saya kepengen tahu saja apa yang disampaikan sehingga orang semua di Jakarta kontak saya. Saya sungguh-sungguh terkejut. Kok mau diskusi aja kok repot lho. Saya cek satu persatu. Sehingga defiasinya terlalu jauh. Tiba-tiba semua teriak dan muncul petisi. Dan saya kaget. Agak defiatif. Mbok sudah, bukunya mana sih?"tuturnya.
Ganjar merasa tidak pernah melarang diskusi apapun bentuknya dan dimanapun. Namun, jika secara ilmiah tradisi diskusi biasanya dilakukan dikampus. Bukan berarti sebagai gubernur dirinya melarang untuk terselenggaranya diskusi dan bedah buku Tan Malaka ini.
"Saya hanya ingin menjaga kalau diskusi silahkan saja. Kalau diskusi pakai tradisi ilmiah. Saya sarankan kenapa tidak dikampus. Bukan kenapa sebagai gubernur nggak saya tidak melindungi. Saya ingin di Jateng, makin cerdas, makin asyik,"ungkapnya.
Ganjarpun bernostalgia, pada masa-masa kuliahnya jika dirinya menggelar diskusi dan dilarang baik oleh pihak kampus dan aparat kepolisian menggelar diskusi dipuncak gunung Merapi.
"Kalau dulu saya diskusi dilarang lari digunung. Tidak ada waktu untuk bergenit-genit ria di sosmed. Sebenarnya saya rindu pada diskusi kritis seperti ini. Lha piye, dari penjara ke penjara saya sudah baca semua. Dari yang kiri sampai yang kanan,"jelasnya.
Fenomena penolakan dan petisis kepada Ganjar juga menyebabkan dirinya oleh beberapa tokoh-tokoh aktifis lama menelepon dirinya. Diantaranya, Gunawan Muhammad dan Usman Hamid. Mereka mempertanyakan terkait apakah di Jateng ada upaya pelarangan terhadap diskusi dan bedah buku Tan Malaka ini.
"GM (Gunawan Muhammad) kontak saya, Usman Hamid kontak saya. Mereka sampaikan ke saya; kalau Ganjar melarang, saya logikanya tidak mengerti. Kecuali saya melarang. Anu wae mas biar berimbang, saya hanya bisa mendorong, kalau saya sampai ke Semarang. Mbok yao aku dikasih bukune ke Semarang, ke rumah saya sampai malam juga tidak masalah,"jelasnya.
Ganjar menampik jika dirinya melarang berlangsungya diskusi. Namun, jika
Itu bahaya! Kalau Jateng tidak aman untuk melakukan diskusi. Taruhlah sudah ada ruang untuk diskusi, ceritakan ke teman-teman ini hal biasa. Meski saya apresied kalau warga sekitar menolak ternyata diskusi mau dipindah. Saya berpikir, kalau tidak bisa disini, mana bukunya. Tak kunci pintune. Diskusi disini sampai semalam,"ungkapnya.
Ganjarpun sempat melakukan cek dan ricek terkait kedatangan Harry Poeze diantaranya ke aparat kepolisian dan kejaksaan dan tidak ada masalah.
"Apakah terlarang? Sudah dicek ke Kejaksaan soal Poeze? Tidak. Apakah Poeze dilarang masuk Indonesia? Tidak. Ya biarkan saja. Sebagai seorang politisi saya berpikir. Di sosmed mbleber-mleber kemana-mana. Yang jadi sasaran tembak saya. Kenapa tidak Walikota? Saya khan kapasitasnya tidak memberikan ijin,"pungkasnya.