Setara Institute Kritisi Pemkab Dharmasraya Larang Perayaan Natal
Setara Institute menilai pemerintah daerah Dharmasraya telah abai terhadap kebebasan beragama.
Pemerintah Kabupaten Dharmasraya dituding melakukan tindakan intoleransi terhadap umat beragam Katolik. Tindakan ini dalam bentuk pelarangan untuk menjalankan perayaan ibadah Natal dan Tahun Baru.
Setara Institute menilai pemerintah daerah Dharmasraya telah abai terhadap kebebasan beragama. Bukan hanya itu, lebih jauh Wakil Ketua Satara Institute, Bonar Tigor Naipospos menganggap Pemda Dharmasraya bersikap acuh dan hanya bereaksi ketika ada keributan.
-
Kapan Krisdayanti merayakan ulang tahunnya? Selain menjadi diva dan anggota dewan, Kris Dayanti kini telah menjadi nenek bagi dua cucu cantik yang menggemaskan, Ameena & Azura. Fotonya Saat Momong Cucu-Cucunya Viral di Media Sosial Kris Dayanti sering disebut sebagai salah satu nenek tercantik.
-
Siapa yang merayakan ulang tahun di acara buka bersama tersebut? Acara ini tidak hanya merupakan kesempatan untuk berbuka puasa bersama, tetapi juga merayakan ulang tahun salah satu keponakannya yang bertepatan dengan perayaan Paskah.
-
Apa arti warna hijau di Hari Natal? Hijau melambangkan kehidupan baru, pertumbuhan, keabadian, dan harapan.
-
Siapa yang merayakan ulang tahun? Amaira, yang lahir pada bulan Oktober, merayakan ulang tahunnya dengan gaya yang unik - sebuah pesta kostum yang menyerupai Halloween.
"Dalam tanda kutip ada tentangan dari publik dibantu dari temen-teman media," ungkap pria yang kerap dipanggil Ciko ini di Kantor Setara Institute, Jakarta, Sabtu (21/12).
Ciko mengutip Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat atau sering dikenal dengan sebutan Peraturan Bersama Dua Menteri. Menurutnya dalam peraturan tersebut, khususnya Pasal 14 telah mengamanatkan bahwa jika masyarakat yang hendak mendirikan rumah ibadah persyaratannya belum terpenuhi, maka pemerintah daerah wajib untuk memfasilitasi.
"Apa memfasilitasi? Adalah menyediakan rumah ibadah sementara bagi kelompok-kelompok yang belum memperoleh izin," terang dia.
Tapi hal ini tidak terjadi pada Pemda Kabupaten Dharmasraya. Di mana pemerintah kabupaten tidak membicarakan tempat beribadah bagi umat Katolik di sana, justru menyuruh para jemaah untuk beribadah di wilayah lain.
"Tapi malah menyuruh pindah dengan menyediakan kendaraan untuk beribadah di tempat lain yang jaraknya cukup jauh. Dan Pemda cenderung tidak mau disalahkan, tidak mau dievaluasi," ungkap Ciko.
Sementara itu, sampai berita ini dipublikasikan, Bupati Kabupaten Dharmasraya, Sutan Riska tidak menanggapi kala dihubungi Liputan6.com terkait tudingan tersebut.
Kasus Pelarangan Ibadah di Dharmasraya
Sebelumnya diketahui, Menurut Menejer Program Pusaka Foundation Padang, Sudarto pelarangan perayaan Natal dan ibadah mingguan bagi umat Katolik di Kabupaten Dharmasraya atau tepatnya di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya telah membuat Pemda Dharmasraya cuci tangan.
Menurut Sudarto pihaknya merasa menyesal atas pembangunan opini yang dilakukan oleh Pemda setempat yang merasa tidak melakukan pelarangan ibadah tersebut.
"Utamanya melalui pernyataan-pernyataan Kabag Humas Kabupaten Dharmasraya. Sementara substansi pemenuhan atas hak melaksanakan ibadah dan perayaan Natal bersama-sama bagi umat Katolik di sana tetap tidak terpenuhi," jelas dia dalam sebuah acara diskusi di Kantor Setara Institute, Jakarta, Sabtu (21/12/2019).
Sudarto menerangkan bahwa pelarangan tersebut telah terjadi sejak 22 Desember 2017 yang merupakan imbas dari dikeluarkan Surat Wali Nagari Sikabau bernomor 145/1553/Pem-2017. Surat tersebut ditunjukkan kepada Ketua Stasi Santa Anastasia, Maradu Lubis yang isinya tidak mengizinkan kegiatan perayaan Natal 2017 dan perayaan Tahun Baru 2018 di sana.
Saat itu, kata Sudarto pihak Maradu mengajukan surat izin ibadah kepada Pemda setempat. Namun surat langsung dijawab oleh Wali Nagari Sikabau.
"Yang isinya menyatakan berdasarkan rapat pemerintahan Nagari Sikabau, Ninik Mamak, Tokoh Masyarakat, BAMUS, dan pemuda Sikabau tidak mengizinkan kegiatan dimaksud dilaksanakan," jelas dia.
Akhirnya, kata Sudiarto pihak Maradu mengadu kepada Komnas HAM. Komnas HAM sempat mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Dharmasraya untuk mengizinkan perayaan ibadah tersebut. Namun sampai saat ini tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat.
Pihak Pemda hanya memberikan solusi yang bersifat parsial. Yakni dengan meminta mereka beribadah di Sawahlunto yang jaraknya puluhan kilometer.
"Pemerintah Kabupaten Dharmasraya akan menyediakan kendaraan bagi mereka. Tapai masalahnya dalam pelaksanaannya kendaraan tersebut kerap kali tidak ada. Waktu awal-awal saja," katanya.
Pihak Maradu tidak patah arang, dia kembali mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten Dharmasraya pada Desember 2019 ini. Namun dibalas dengan pernyataan keberatan oleh Pemda Dharmasraya.
Gunakan Politik Kerukunan
Sudarto menuding Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menggunakan politik ala Orde Baru. Di mana tindakan maupun pembiaran intoleransi dilakukan dengan dalih menjaga ketertiban masyarakat. Istilah ini dikenal dengan Politik Kerukunan atau Harmonizing Politics.
"Jadi seakan-akan kalau ada umat non Islam beribadah menimbulkan ribut seakan-akan mereka yang menimbulkan keributan itu. Padahal kelompok-kelompok intoleran kemudian yang menjadi korban adalah orang yang beribadah dengan menuduh memancing kericuhan," tegas Sudiarto.
Politik kerukunan ini, kata dia direkayasa untuk menyenangkan kubu mayoritas. Dan membuat kelompok kecil mengalah agar kubu mayoritas tidak ribut.
Reporter: Yopie Makdori
Sumber: Liputan6.com
(mdk/fik)