Setnov, praperadilan & surat permintaan penundaan pemeriksaan ke KPK
Sosok Setya Novanto terus menuai perhatian publik. Ketua Umum Partai Golkar itu menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah.
Sosok Setya Novanto terus menuai perhatian publik. Ketua Umum Partai Golkar itu menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah.
Senin (11/9) lalu, Setnov sedianya diperiksa KPK sebagai tersangka. Namun Ketua DPR itu tak memenuhi panggilan KPK karena alasan sakit dan dirawat di RS Siloam, Jakarta. Kabar ketidakhadiran itu didapatkan dari Sekjen Partai Golkar Idrus Marham yang datang ke KPK buat mengantarkan surat sakit Setnov.
Idrus mengatakan, Setnov tidak bisa hadir karena sedang sakit dan perlu perawatan di Rumah Sakit Siloam. Beberapa hari kemudian, terungkap pihak kesetjenan DPR mengirim surat ke KPK yang berisi permintaan penundaan pemeriksaan terhadap Setya Novanto hingga proses praperadilan selesai.
Surat tersebut ditandatangani oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Kepala Biro Kesetjenan DPR Hani Tahapsari mengatakan Setnov meminta pimpinan DPR agar melayangkan surat tersebut ke KPK. Fadli Zon saat dikonfirmasi mengamini adanya surat tersebut.
Fadli menjelaskan permintaan tersebut adalah aspirasi dari masyarakat dan pihaknya hanya meneruskan. Kemudian, kata dia, surat tersebut sudah diketahui oleh pimpinan yang lain di DPR.
"Mungkin aspirasi saja. Surat aspirasi. Ya meneruskan aspirasi saja. Jadi permintaan Pak Setya Novanto," kata Fadli Zon di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (14/9).
Surat tersebut sontak menuai polemik. Bahkan, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai, tindakan tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap proses hukum di KPK. Seharusnya pimpinan DPR menghormati keputusan hukum KPK.
"Pimpinan DPR harus menghormati proses ini. Bahwa surat itu ditandatangani Fadli Zon sama saja, mau Fadli Zon siapa saja, menurut saya itu di luar, melampaui kewenangan pimpinan DPR," kata Muzani.
Beberapa waktu lalu, Setnov memang telah mengajukan praperadilan atas status tersangka yang disematkan KPK kepadanya. Sidang praperadilan diagendakan digelar pada Selasa (12/9) lalu. Namun atas permintaan KPK, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar mengabulkan permohonan penundaan sidang praperadilan sepekan ke depan.
Awalnya, pihak KPK meminta penundaan dilakukan selama tiga pekan untuk melengkapi surat-surat administratif. Namun akhirnya diputuskan hakim penundaan dilakukan sepekan ke depan.
Sebelumnya, Koordinator Gerakan Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mencium ada konspirasi politik dan ekonomi di balik pengajuan praperadilan yang dilakukan Setnov itu.
"Saya menengarai ada aroma jalannya skenario konspirasi politik dan ekonomi di balik praperadilan ini," kata Doli melalui keterangannya, Jumat (8/9) lalu.
Di aspek politik, Doli menduga praperadilan ini berkaitan dengan pembentukan Pansus Angket KPK di DPR. Pansus dijadikan sebagai alat untuk mengamankan kasus e-KTP dan kasus hukum Setnov.
"Pertama, terbentuknya Pansus Hak Angket terhadap KPK dan ke sini-sini kan semakin nyata, didirikan Pansus itu untuk apa? Mengaburkan korupsi e-KTP. Yang kedua itu mau membubarkan KPK," jelasnya.
Peristiwa kedua, yakni dugaan pertemuan antara Setnov dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dalam sidang doktor Adies Kadir di Surabaya. Menurutnya, pertemuan itu terjadi jual beli kepentingan dan pengaruh.
"Sebagai Ketua DPR dia masih bisa menggunakan pengaruhnya kepada setiap apa saja yang berhubungan dengan DPR. MA dan hakim itu hari ini ada kepentingan dengan DPR. Pertama, UU MA, kedua RUU Jabatan Hakim," tegasnya.
"Bagaimana tidak terjadi konflik of interest ketua DPR yang sudah tersangka, yang pasti berhubungan dengan hakim, dengan peradilan, sementara hakimnya punya kepentingan untuk menentukan nasibnya di DPR melalui UU," kata Doli.
Doli menilai indikasi barter Setnov-Hatta Ali cukup kuat. Salah satunya, menurut dia, disertasi Adies membahas RUU Jabatan Hakim dan usia pensiun hakim. "Ya, wajar saja ada kecurigaan seperti itu karena kini nasib hakim agung sedang bergantung kepada DPR," katanya.
Indikasi lain, menurut Doli, adalah kontroversi terpilihnya Hatta sebagai Ketua MA untuk periode kedua. Saat itu, Pemerintah melalui pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengusulkan agar usia pensiun hakim agung dimudakan dari 70 tahun ke 65 atau 67 tahun. Karena itulah, Doli memandang isu usia pensiun Hakim Agung sangat mungkin menjadi alat barter untuk memenangkan praperadilan.
Hatta Ali sendiri telah membantah isu pertemuan dengan Setnov tersebut. "Wah itu tidak pernah. Saya kan penguji di Surabaya. Makanya saya enggak nyangka, janganlah menyebarkan fitnah," kata Hatta Ali, di kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (23/8) lalu.
Menurutnya, setelah pengujian disertasi, para penguji langsung berpisah. Karenanya dia menyatakan tudingan tersebut tidak benar.
"Ya tidak benar, kan banyak saksi. Kebetulan hadir juga dari KY," katanya.
Sorotan kini mengarah kepada hakim praperadilan kasus Setnov, Cepi Iskandar. Pria berusia 58 tahun itu sebelumnya sempat menangani praperadilan yang diajukan bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, yang dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri terakait kasus ancaman terhadap jaksa. Dalam putusannya, Cepi menolak gugatan Hary Tanoe.