Heboh Aisha Wedding, Komnas Perempuan Ingatkan Praktik Nikah Siri Merugikan Wanita
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turut merespons isu soal Aisha Weddings yang mempromosikan pernikahan siri serta pernikahan di bawah umur. Komnas Perempuan menganggap bahwa nikah siri merupakan satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turut merespons isu soal Aisha Weddings yang mempromosikan pernikahan siri serta pernikahan di bawah umur. Komnas Perempuan menganggap bahwa nikah siri merupakan satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.
"Nikah siri adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan karena tidak diakuinya hak-hak perempuan dalam perkawinan," kata Komisoner Komnas Perempuan Bahrul Fuad kepada Liputan6.com, Kamis (11/2).
-
Kapan Nuri Maulida menikah? Nuri Maulida memulai langkah menjauh dari dunia hiburan Indonesia setelah menikah dengan seorang politisi dan pengusaha bernama Pandu Kesuma Dewangsa pada tahun 2014.
-
Kapan Diah Permatasari dan suaminya menikah? Mereka mengucapkan janji suci pada tanggal 5 April 1997. Kini, mereka telah menikah selama 24 tahun dan diberkati dengan kedua anak mereka.
-
Kapan Sidik Eduard menikah? Menikah Dengan Dhea Salsabila di Tahun2019 Sidik Eduard menikah sama Dhea Salsabila tahun 2019.
-
Bagaimana suasana pernikahan Siti Mamduhah? Semoga Mamam Ma'ruf Amin & Iyar sukses menjalani kehidupan baru. Semoga cinta dan kebahagiaan senantiasa mengaliri setiap hari kalian dan menjadikan kalian berdua sebagai keluarga yang harmonis, penuh kasih, dan memberikan berkah," doa yang disampaikan oleh Rahma Perk.
-
Kapan Dastia Prajak menikah? Dastia Prajak mengakhiri masa lajangnya pada Maret 2021.
-
Kapan Sigit Harjojudanto dan istrinya menikah? Keduanya menikah pada 23 Januari 1972 dan telah bersama selama 52 tahun.
Hal ini lantaran meskipun secara agama diperbolehkan, namun nikah siri secara negara tidak memiliki status legalitas. Sehingga jika terjadi sengketa rumah tangga, maka pihak istri akan rentan dirugikan karena tidak ada bukti sah pernikahan.
"Hal lain yang merugikan adalah, anak yang lahir dari pernikahan sirri pada Akta Kelahirannya hanya akan ditulis sebagai Anak Seorang Ibu, sehingga anak akan kehilangan hubungan legal dengan ayahnya. Hal ini akan berdampak pada anak yang tidak dapat mengakses hak waris dari ayah," sebut Fuad.
Demikian juga ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Dalam UU tersebut praktik poligami yang erat kaitannya dengan nikah siri, tanpa seizin istri pertama merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan.
"Pasal 45 dan 49 Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebutkan praktik kawin kedua dan seterusnya tanpa ada izin istri pertama adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan itu bisa dipidanakan. Poligami juga berpotensi menghilangkan hak-hak anak dari hasil Poligami," jelasnya.
Fuad mengungkap bahwa dalam data yang terekam Komnas Perempuan menunjukan bahwa perempuan yang terlibat dalam pernikahan poligami kerap mendapat kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis.
"Dalam catatan Komnas Perempuan, perempuan yang terlibat dalam perkawinan poligami banyak yang mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan finansial (penelantaranan). Beberapa negara Islam sesungguhnya melarang warganya melakukan poligami seperti Turki dan Tunisia," jelas Fuad.
Fuad juga mengaku prihatin atas penggunaan agama untuk mendorong pernikahan poligami dan pernikahan anak tanpa mempertimbangkan kerugian yang ditimbulkan terhadap perempuan dalam praktik tersebut.
"Ketiga masalah (pelanggaran hukum pernikahan, perdagangan manusia, pernikahan poligami) menurut pemantauan kami dapat menempatkan perempuan dalam risiko kekerasan dan diskriminasi yang serius. Selain tindakan hukum, peristiwa ini mengingatkan kita bahwa ada kebutuhan untuk memperkuat upaya kita dalam pendidikan publik dalam mendorong transformasi budaya tentang perkawinan anak dan untuk memperkuat kemitraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dan dalam keluarga," ucapnya.
Untuk itu Fuad menyebut pihaknya meminta polisi untuk mengusut tuntas keberadaan Aisha Weddings tersebut. Menurutnya wedding organizer itu bukan hanya mempromosikan suatu hal yang melanggar UU Perkawinan, tapi juga mengisyaratkan praktik perdagangan orang di Indonesia.
"Komnas Perempuan mendukung seruan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) kepada polisi untuk mengusut tuntas iklan Aisha Wedding karena tidak hanya mengisyaratkan tindakan melanggar UU Perkawinan yang mengatur usia minimum untuk menikah, tetapi juga mengindikasikan kemungkinan praktik perdagangan orang di Indonesia," sebut Fuad.
Kowani Kecam Promosi Perkawinan Anak-Anak
Sementara itu Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo mengecam promosi perkawinan anak yang dilakukan Aisha Wedding dan menyatakan bahwa perkawinan anak merupakan tindakan yang melanggar undang-undang.
"Kowani menyatakan dengan tegas bahwa Aisha Wedding Organizer melanggar UU No. 16/2019 tentang perkawinan dan UU No. 35 tentang Perlindungan Anak," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa menurut Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan 19 tahun.
Giwo juga mengatakan bahwa perkawinan pada usia anak membahayakan kesehatan dan keselamatan perempuan pada saat hamil dan bayi yang dia kandung.
Perkawinan anak, ia melanjutkan, membuat anak perempuan hamil dan melahirkan pada usia dini, pada masa organ reproduksinya belum siap untuk hamil dan melahirkan, dan kondisi itu bisa membahayakan keselamatan ibu dan bayi.
"Makin muda usia ibu saat melahirkan, makin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR akan berlanjut menjadi balita gizi kurang dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya," kata Giwo.
"Selain itu, melakukan hubungan seksual pada usia masih sangat muda meningkatkan risiko timbulnya kanker leher rahim di kemudian hari," ia menambahkan.
Giwo mengemukakan bahwa secara psikologis perempuan yang menikah pada usia terlalu dini juga belum siap menjadi istri dan ibu dan kondisi yang demikian bisa mendatangkan dampak negatif pada kehidupan keluarga mereka.
Perkawinan pada usia anak, menurut dia, juga dapat menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.
Kowani adalah federasi organisasi perempuan yang berdiri 22 Desember 1928 dan saat ini mencakup 98 organisasi perempuan di tingkat nasional.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com
(mdk/bal)