Soal impor beras, Jokowi diingatkan tak terjebak data palsu
Terdapat perbedaan pernyataan antara Presiden Joko Widodo dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang beras.
Pemerintah diminta tidak terjebak pada data salah tentang kondisi beras nasional. Sebab, kesalahan data bisa berakibat pada pengambilan kebijakan yang salah dan bisa memicu permainan mafia beras.
Anggota Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, Firman Subagyo mengatakan, terdapat perbedaan pernyataan antara Presiden Joko Widodo dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang beras. Jokowi sudah menegaskan tidak akan ada impor beras, sedangkan JK menyatakan keran impor beras akan dibuka untuk memenuhi cadangan nasional.
"Seharusnya Pak Jokowi sudah diberi data soal produksi beras nasional yang sesungguhnya. Dalam sejarah perberasan nasional, Bulog belum pernah menyerap 4 juta ton karena yang tertinggi 3,6 juta ton. Saya kira ada missing link di data. Kementerian Pertanian bikin rata-rata tujuh ton maksimal. Sehingga surplus yang ada surplus semu. Maka Kementan harus serius membenahi data soal produksi beras nasional kita," kata Firman saat dihubungi, Jakarta, Senin (11/5).
Politikus Golkar itu mengaku kaget dengan adanya perbedaan sikap antara Jokowi dan JK soal kebijakan beras. Firman pun juga menyayangkan adanya perbedaan antara Jokowi dan JK yang terkesan tidak harmonis.
"Ini saya nyatakan pernyataan presiden dan wapres berbeda, keduanya tak harmonis sehingga pemerintahan keropos. Penanggung jawab pemerintahan kan presiden. Harusnya datanya kuat dan benar. Selama ini pun data tak transparan, grey area, dan Kemendag bermain dengan menggunakan data yang grey area itu," jelas Firman.
Menurut Firman, kunci untuk menuju swasembada pangan sangat diperlukan kejujuran semua pihak. Parahnya, kata dia, justru perusahaan milik salah satu menteri itu pula yang beroperasi memborong beras petani dengan harga tinggi sehingga Bulog tak bisa bersaing.
"Akhirnya ketika beras masuk gudang semua, begitu di lapangan dan pasaran habis, mau tak mau kan impor. Yang ditunggu cuma impor itu. Itu bagian dari skenario importir beras itu. Nanti habis beras ini, muncul juga skema importir kedelai dan gula," tuturnya.
Lebih lanjut, Firman juga menyayangkan direksi Perum Bulog saat ini juga kurang memahami dunia perberasan. Akibatnya, Bulog maupun pemerintah juga kesulitan membaca situasi dan kondisi yang ada. Sehingga stok dan kebutuhan akan beras nasional jauh dari harapan.
"Masalah ini akan menjadi sulit kalau pemerintah tak mempertegas data yang ada. Karena data yang ada hanya data asal bapak senang. Bisa jadi menterinya dibohongi anak buahnya. Di sisi lain, harga pasar harus dikendalikan betul. Pemerintah juga harus tentukan harga eceran tertinggi dan terendah," tutupnya.