Umar Patek: Media sosial efektif sebarkan radikalisasi
Umar mengingatkan kepada para orangtua untuk selalu dekat dengan anak-anaknya.
Media sosial (medsos) menjadi alat efektif untuk menyebarkan paham radikalisme. Sejumlah pengikut yang bergabung dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria), direkrut lewat media.
Terpidana kasus Bom Bali I, Hisyam bin Ali Zein alias Umar Patek mengungkapkan, pola rekrutmen teroris dilakukan dengan apapun yang bisa disentuh. Pendekatan kovensional dilakukan lewat pengajian, tetapi juga memanfaatkan media sosial yang lebih instan.
"Sekarang lebih sering dan efektif lewat media sosial. Tanpa bertemu dengan orang yang direkrut. Disuguhkan isu-isu provokatif. Itu paling efektif. Itu bisa dilakukan dengan Facebook dan lain sebagainya," kata Umar Patek di Malang, Senin (25/4).
Karena itu, Umar mengingatkan kepada para orangtua untuk selalu dekat dengan anak-anaknya. Memantau aktivitasnya terutama dalam penggunaan smartphone.
"Orangtua harus mengikuti aktivitas anak-anaknya yang menggunakan smartphone, mengikuti juga aktivitasnya di kampus," katanya.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Direktur Wachid Institute, Yenny Wachid. Para pelaku terorisme melakukan pola rekrutmen melalui media sosial dengan kontens yang dikemas sedemikian rupa.
"Tidak pernah mengaji, dari facebook langsung berangkat ke Syiria. Senjatanya sosial media, smartphone. Selfie lebih tajam dari pedang dan itu efektif sekali," kata puteri Presiden Abdurachman Wachid itu.
Lewat medsos, calon sasaran biasanya diberikan gambar-gambar yang terjadi di daerah konflik. Gambar itu digunakan untuk menyentuh perasaan, kendati foto itu juga perlu diuji kebenarannya.
"Ini lho yang terjadi di Syiria, tetapi fotonya ternyata zaman dulu. Orang baca miris langsung berangkat ke Syiria," katanya.
Kontens yang disampaikan bernada propokatif dan ajakan untuk berperang. Kalimat-kalimatnya menyentuh rasa nasionalisme dan membakar jihad.
"Mati sekali sekalian jihad. Mengajak anak muda untuk berperang, yang ditawarkan rasa nasionalisme, dari semula pegang senjata di game, ditawarkan yang beneran. Siapa yang tidak ingin menjadi pahlawan," katanya.
Yenny mencontohkan, seorang anak ada yang berangkat ke Syiria hanya karena teman SD-nya sudah terlebih dahulu ke Syiria. Dia iri karena temannya berpenampilan keren dengan menenteng senjata di depan tank. Tetapi beruntung, ketika sampai di Turki, tersadarkan karena tiba-tiba teringat ibunya.
"Hanya karena ingin saja, seperti temannya. Saudara-saudaraku mari berjihad! Siapa yang tidak tertarik, anak muda mana yang tidak tertarik dengan ajakan-ajakan seperti itu," katanya.
Contoh yang lain, seorang guru sekolah minggu di Amerika Serikat yang mualaf dibujuk untuk berangkat ke Syiria. Lewat media sosial melakukan konsultasi tentang Islam. Namun curiga, saat dilarang salat di sebuah masjid karena berbagai alasan.
Selain contoh tersebut, Yenny juga memiliki data tentang tiga orang mahasiswa di Inggris juga tiba-tiba hilang. Keluarganya dilupakan begitu saja, hanya karena belajar agama melalui media sosial. Sekarang diduga masih di Syiria, sesuai dengan dokumen bandara.
"Ratusan ribu akun-akun digunakan untuk menyebarkan radikalisme dengan berbagai cara agar dapat sasaran baru," tegasnya.
Yenny mengajak masyarakat untuk menghidupkan atau menyemarakan kembali tradisi-tradisi bersosial. Indonesia memiliki budaya halal bi halal dan budaya bertoleransi yang tinggi.
Sementara Ali Gufron mengungkapkan, untuk mencari seorang 'pengantin' bom bunuh diri bukan sesuatu yang sulit. Karena memang dasar pemahaman agama yang terlalu dangkal.
"Saya hanya butuh waktu dua jam untuk menyiapkan pengantin," tegasnya.