UU Sumber Daya Air digugat karena buka peluang komersialisasi
UU Sumber Daya Air digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) dianggap telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air yang merugikan rakyat. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-undang Sumber Daya Air atau UU No 7 Tahun 2004. Agenda persidangan mendengarkan saksi ahli dari pemohon.
Pemohon dalam hal ini dari Pimpinan Muhammadiyah dan sejumlah tokoh masyarakat. Materi yang diujikan dalam permohonan sejumlah pasal dalam UU SDA yang dalam beberapa pasal oleh pemohon dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan rakyat.
"Agenda privatisasi air oleh swasta sudah tersirat dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang SDA, khususnya melalui pengaturan pengusahaan SDA pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 26, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 49. Pasal-pasal itu dapat menjadi pintu masuknya per orangan dan badan hukum swasta," kata Profesor Dr Suteki selaku saksi ahli pemohon, di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (17/12).
Lebih lanjut Suteki mengungkapkan, tak ada yang dapat menyangkal air dan bidang sumber daya alam lainnya menguasai hidup orang banyak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu juga menyebutkan adanya agenda privatisasi air di Indonesia.
"Agenda privatisasi air sudah terbukti dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM), Perpres Nomor 77 Tahun 2007 (yang diperbaharui dengan Perpres No 111 Tahun 2007 dan Perpres No 36 Tahun 2010) yang memungkinkan swasta menguasai seratus persen modal penguasaan air minum, dan asing dapat menguasai modalnya sebesar 95 persen," papar Suteki.
Sebelumnya pada 2005 lalu, Suteki menuturkan, pengujian terhadap UU SDA ini bertentangan dengan UUD 1945 yang sudah dilajukan oleh sejumlah pihak. Menurutnya kekhawatiran Pemohon pada 2005 itu, menurut Suteki, adanya agenda privatisasi air yang terselubung dalam UU SDA itu.
"Pada waktu itu pemerintah berhasil meyakinkan MK bahwa UU SDA tidak bermaksud mengagendakan privatisasi dan komersialisasi air. Atas dasar keterangan ahli dari pemerintah saat itu, MK berpendapat kekhawatiran Pemohon tidak terbukti dalam persidangan, meskipun saat itu ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) akan putusan itu," ujar Suteki.
Suteki juga memaparkan, MK menilai Pemohon pada 2005 tidak bisa membuktikan keberatannya kekhawatiran privatisasi sumber daya air. Pasal UU SDA yang diuji saat itu dianggap tidak bisa membuktikan kalau itu bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
"MK berpendapat, UU SDA mengatur hal-hal pokok dalam pengelolaan SDA dan meskipun UU SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan Hak Guna Usaha Air dan izin pengusahaan SDA, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan hak penguasaan air akan jatuh ke tangan swasta," terang Suteki.
Dengan alasan itu, Suteki mengungkapkan, bila memang MK meminta pembuktian kekhawatiran Pemohon, maka tidak menutup kemungkinan bisa diajukan pengujian kembali. Menurutnya upaya pengujian kembali UU SDA itu sangat beralasan, karena kekhawatiran pemohon terhadap agenda privatisasi air telah terbukti.
Menurutnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) telah membuka peluang adanya penyelenggaraan air minum oleh swasta tanpa batasan. Suteki mengungkapkan, putusan MK terhadap pengujian UU SDA itu menyebut negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas air.
Selain itu juga dalam putusan yang sama, menurut Suteki, MK juga berpendapat tanggung jawab penyediaan air minum diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMD atau BUMN bukan oleh swasta. Serta peran koperasi, badan usaha swata dan masyarakat hanyalah bersifat terbatas sampai pemerintah bisa mengelola sendiri.
"Dengan demikian dapat diduga Peraturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) telah bertentangan dengan pertimbangan atau pendapat MK dalam amar putusannya. Selain itu peraturan pemerintah itu juga tidak membatasi kepemilikan modal swasta apalagi swasta asing," papar Suteki.