Wiranto: Tak mungkin Prabowo mengkudeta
Wiranto tidak berniat mengambil alih kursi presiden dari Soeharto.
Kasus pergolakan 1998 kembali hangat dalam Pilpres 2014. Mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto memberikan penjelasan terkait kondisi saat itu, termasuk adanya kesempatan mengambil alih kursi presiden baik oleh dirinya maupun Letjen Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Pangkostrad.
"Dalam konteks ini, banyak yang tidak tahu, panglima Kostrad wewenangnya terbatas. Panglima Kostrad yang punya batalyon, tank, divisi. Hanya panglima yang meminta dan melatih dari satuan Kostrad, yang menggunakannya nanti adalah Panglima TNI atau ABRI saat itu. Jadi tidak itu, tidak mungkin Panglima Kostrad mengkudeta. Jadi tidak mungkin, tidak boleh tanpa izin panglima ABRI."
Hal itu diungkapkan Wiranto saat memberikan keterangan pers terkait kasus kerusuhan Mei 1998 di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (FORUM KPK) Jl HOS Cokroaminoto 55 - 57 Jakarta Pusat, Kamis (19/6). Pernyataan itu secara tidak langsung membantah ucapan Prabowo bahwa sebagai Pangkostrad dia bisa melakukan kudeta karena punya banyak pasukan.
Selain menjelaskan posisi Prabowo kala itu, Wiranto juga menyampaikan dia tidak berniat mengambil alih kursi presiden dari Soeharto. Padahal, Wiranto menyamakan situasi kala itu sama seperti peristiwa Supersemar, yakni saat Soeharto mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk mengamankan gejolak dalam negeri.
"Saya selaku panglima ABRI, justru memiliki wewenang itu. Mengapa tidak mengkudeta? Karena saya tidak ingin mengkhianati negeri ini," kata Wiranto.
Alasan Wiranto tak kudeta
Selain itu, Wiranto tidak ingin mengkudeta karena mempertimbangkan posisi Indonesia ke depan, khususnya terkait hubungan dengan negara lain. Setidaknya ada tiga alasan yang diutarakan Wiranto.
"Pertama bahwa kalau saya ambil alih, maka sebagai Menhankam/Pangab saya hanya berkuasa sebagai secarik kertas dari presiden yang dijatuhkan karena reformasi. Saya dihadapkan pada rakyat yang terus menuntut reformasi."
Kedua, rezim militer bakal tidak diterima dalam pergaulan internasional. Pahitnya, Indonesia akan dibayangi embargo ekonomi.
"Ketiga kalau kudeta, kebiasaan itu akan terus berlanjut. Negeri tidak stabil tidak bisa konsolidasi. Saya tidak pernah menyesal," terang Wiranto.