Akan gugat UU Pilkada, PDIP temui ahli hukum Unair Surabaya
Jika Pilkada diundur, yang dirugikan adalah rakyat. Hal ini karena Plt kepala daerah tidak punya kebijakan strategis.
Fenomena calon tunggal di Pilkada serentak, 9 Desember 2015, termasuk yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur yang hanya dihuni pasangan incumbent, Tri Rismahari-Whisnu Sakti Buana, terus menuai pro-kontra.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 yang secara teknis diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12 Tahun 2015, tentang pemilihan kepala daerah, jika hanya ada calon tunggal, maka Pilkada diundur pada 2017. Karena dalam aturan tersebut, menyebut harus ada minimal dua calon kandidat.
Menyikapi persoalan ini, sebagian kelompok sepakat dengan aturan tersebut. Karena aklamasi hanya akan mencederai demokrasi. Sementara sebagian lagi, tidak sepakat Pilkada diundur. Bahkan ingin menggugat aturan tersebut.
Sebab, jika Pilkada diundur, yang dirugikan adalah rakyat. Karena selama dua tahun, dipimpin Plt (pejabat sementara) yang tidak memiliki kebijakan strategis ketika terjadi persoalan.
Hal ini pula, yang membuat PDIP, khususnya di Surabaya ingin melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, sebelum melangkah jauh, DPC PDIP Surabaya ingin mengonsultasikan rencana gugatannya itu ke para ahli hukum dan tata negara di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Jumat sore kemarin (31/7), beberapa perwakilan PDIP seperti Wakil Ketua DPC PDIP, Didik Prasetiyono, Budi Leksono (bendahara), dan Anas Karno (bidang hukum), mendatangi kampus Unair untuk mengonsultasikan posisi calon tunggal di Pilwali Surabaya serta langkah hukumnya.
Kedatangan rombongan PDIP Surabaya ini, diterima oleh beberapa akademisi Unair, seperti ahli hukum tata negara, Radian Salaman dan Syaiful Aris. "Memang, upaya pengajuan gugatan dan uji materi terkait aturan Pilkada telah kami lakukan. Namun, kami memerlukan pendapat dari para akademisi yang paham masalah hukum," terang Didik Prasetiyono, Sabtu (1/8).
Kata politisi yang akrab disapa Dikdong ini, pertemuan yang digelar pihaknya dengan akademisi Unair kemarin, berlangsung selama satu jam dan bersifat internal. "Ini untuk mencari langkah kongkret. Jika penerapan aturan atau undang-undang Pilkada ada celah besar, ini harus dipecahkan, agar tidak terjadi kebuntuan politik," sambungnya.
Sementara menurut Radian Salman, pengajuan uji materi mau pun gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 8 dan PKPU Nomor 12/2015, sah-sah saja dilakukan. "Ini hanya langkah hukum untuk mencari norma-norma yang dinilai adanya celah dan tidak diatur dalam pasal-pasalnya," ucap dosen ilmu tata negara di Unair Surabaya ini.
Dosen sekaligus pengamat politik ini juga menegaskan, boleh tidak sepaham dan mengambil langkah hukum dalam menyikapi persoalan, asal tidak boikot. "Karena jika boikot Pilkada, itu justru tidak mengedepankan sisi demokrasi. Dampaknya akan sangat luar biasa. Khususnya pembangunan kota. Semuanya akan terhambat, rakyatlah yang rugi dalam hal ini," paparnya.
Mestinya, masih kata Radian, pengaturan tata cara dan teknis Pilkada, harus dibuat lebih detail, sehingga tidak memunculkan tafsiran berbeda membaca undang-undang. "Ke depan memang harus demikian dalam merumuskan undang-undang," pungkasnya.