Arti pilihan kita pada Pilpres 2014
Capres harapan kita diharapkan akan mengarahkan Indonesia menjadi lebih demokratis dan berkeadilan sosial.
Saya pernah menulis sebuah kolom di Jakarta Post tentang betapa pentingnya Pilpres 2014 bagi masa depan RI. Diharapkan akan terpilih capres dari generasi muda yang akan mengantar bangsa kita ke masa depan yang lebih baik.
Capres harapan kita diharapkan akan mengarahkan Indonesia menjadi lebih demokratis dan berkeadilan sosial, karena pemerintah yang akan dibentuknya didasarkan pada kehendak rakyat sendiri. Capres yang dimaksud adalah Jokowi yang berhasil membuktikan sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI, berhasil memerangi korupsi untuk membangun sistem pemerintahan daerah yang kredibel. Dalam tiga acara debat antar Capres, Jokowi telah menunjukkan bahwa ia mengerti masalah nasional dan internasional dan karena itu dapat diharapkan menjadi presiden yang kompeten.
Kompetensi itu ditunjukkannya pula selama menjalani kampanye yang berat dan berhasil menggalang dukungan di daerah-daerah meskipun dengan persiapan yang tidak selalu memadai. Pribadinya yang menonjol dalam debat dan kampanye-kampanye tersebut membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang berani dan mampu membuat keputusan-keputusan penting dan kompleks, namun tetap terbuka terhadap kehendak rakyat, karena ia dekat dengan rakyat, termasuk rakyat kecil. Ia sangat memperhatikan nasib rakyat dan sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial bagi mereka.
Sementara itu Capres Prabowo adalah dari masa Orde Baru. Semasa dinas kemiliterannya ia diduga telah melakukan pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Jenderal Wiranto yang menjabat Panglima Angkatan Bersenjata pada waktu itu dan beberapa anggota DKP yang lain seperti Jenderal Fachrul Razi dan Jenderal Agum Gumelar telah membenarkan butir-butir dalam DKP tersebut. Bantahan-bantahan dari Jenderal yang tergabung dalam Gerindra terhadap DKP tidak meyakinkan. Juga bantahan dari Mabes TNI tentang tidak adanya dokumen DKP.
Masalah terbesar yang akan dihadapi RI adalah apakah seorang perwira yang telah melanggar HAM dan melakukan insubordinasi terhadap atasannya ketika masih aktif bertugas dapat memegang tampuk pimpinan nasional yang begitu besar kekuasaannya. Dalam sistim presidensiil, sesuai dengan UUD yang telah direvisi, meskipun ada pagar-pagar hukum yang dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan presiden, tetap saja seorang presiden dapat melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, meskipun tampaknya masih dalam batas-batas hukum dan konstitusional.
Di Amerika Serikat yang dianggap paling demokratis dan banyak mempunyai pembatasan serta penyeimbang terhadap kekuasaan eksekutif, tetap saja Presiden Richard Nixon dalam skandal Watergate dapat melakukan tindakan-tindakan negatif meskipun ketahuan dan kemudian mengundurkan diri sebelum dimakzulkan. Pada masa kini pun Presiden Obama yang berseberangan dengan Kongres, terutama House of Representatives, tetap dapat mengeluarkan Executive Order di antara celah-celah pembatasan tersebut.
Apalagi di Indonesia di mana Presiden mempunyai kekuasaan besar dan mempunyai berbagai perangkat atau instrumen untuk melaksanakan kekuasaannya seperti Polisi, Kejaksaan, Intelejen, TNI, lembaga Perpajakan, Imigrasi dan beberapa lagi yang pernah digunakan pada masa Orde Baru. Dikhawatirkan perangkat-perangkat itu dapat disalahgunakan lagi oleh capres terpilih yang terbiasa dengan praktek-praktek Orde Baru ini.
Apakah tidak terpikirkan oleh para pemilih akan terulang lagi pengalaman-pengalaman selama Orde Baru? Memang ada keamanan dan kestabilan pada masa itu, tetapi semuanya semu dan karena itu gerakan reformasi terjadi pada tahun 1997-1998 yang menjatuhkan rejim Soeharto yang otoriter. Dikatakan bahwa ekonomi lebih baik pada zaman Orde Baru. Mungkin benar untuk 20 tahun pertama, tetapi kolusi, korupsi dan nepotisme yang timbul telah merusak perekonomian yang dengan susah payah dibangun. Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 bahkan lebih parah dari yang terjadi di Thailand, Korea Selatan dan Malaysia.
Sepertinya platform Prabowo yang ditawarkan pada Pilpres ini mengacu pada keinginannya untuk membangun kembali sistem semasa mantan mertuanya berkuasa. Soeharto tampak masih merupakan inspirasinya karena itu ia berkunjung ke makamnya dan mengusulkannya sebagai pahlawan nasional. Bahkan tersebar rumor kemungkinan kembali rujuknya dengan mantan istrinya, Titiek Soeharto. Juga dikatakan adanya pendukung lama Soeharto yang membantunya untuk membangun kembali sistem tersebut.
Setelah 15 tahun bangsa Indonesia mengalami demokrasi yang dinamis dan aktif, usaha tersebut pasti tidak akan mendapat dukungan luas dan Pilpres inilah kesempatan yang baik untuk menolaknya.
Selama 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami kepresidenan yang lemah di bawah SBY. Sistem pemerintahan berjalan seadanya karena SBY tidak mempunyai sikap berani untuk menjalankan peran dan kekuasaannya dengan tepat.
Sejujurnya, tentu ada tokoh-tokoh yang dianggap melanggar HAM di kubu Jokowi-JK, tetapi mereka hanya pribadi-pribadi sebatas sebagai pendukung dan bukan capres.
Beberapa orang mengatakan pada saya bahwa Prabowo telah berubah dan menyesali kesalahan-kesalahannya terdahulu. Kalau benar sangat saya syukuri. Namun mengamati berbagai ucapan dan langkah-langkahnya saya masih ragu. Bagaimana pun ia adalah capres yang memikul masa lalu yang sudah kita ketahui semua dan karena itu harus kita tolak.(Jusuf Wanandi, Wakil Ketua, Dewan Penyantun, CSIS Foundation)