Fahri Hamzah sebut Jokowi pencitraan jika tak teken UU MD3
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai jika Presiden Joko Widodo menolak menandatangani Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) maka menandakan Kabinet Kerja tidak paham soal falsafah demokrasi.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai jika Presiden Joko Widodo menolak menandatangani Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) maka menandakan Kabinet Kerja tidak paham soal falsafah demokrasi. Namun, Fahri mengakui gagasan dan konsep yang terkandung dalam UU MD3 memang sulit dipahami.
"Makanya kalau misalnya kalau sampai akhir Pak Jokowi enggak teken berarti seluruh kabinet itu gagal memahami falsafah demokrasi, trias politica dan sebagainya," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/2).
-
Apa yang menurut Fahri Hamzah menjadi bukti dari efek persatuan Jokowi dan Prabowo? "Efek persatuan mereka itu luar biasa, telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang akan menjadi game changer, perubahan yang punya efek dahsyat pada perekonomian dan masyarakat secara umum," sambungnya.
-
Bagaimana Fahri Hamzah melihat proses bersatunya Jokowi dan Prabowo? "Ini adalah dua tokoh besar. Orang hebat dua-duanya, yang selama ini oleh politik dibuat bertengkar, sekarang kita buat mereka bersatu," tutur Fahri, Minggu (28/1)
-
Kapan Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil Presiden? Pada hari Kamis, 26 Juli 2001, Hamzah terpilih sebagai Wakil Presiden ke-9 Republik Indonesia.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Siapa yang meminta tanda tangan Presiden Jokowi? Pasangan artis Vino G Bastian dan Marsha Timothy kerap disebut sebagai orang tua idaman. Pasalnya demi impian sang anak, Jizzy Pearl Bastian, pasangan orang tua ini rela melakukan segala cara.
-
Mengapa para aktivis mendesak Presiden Jokowi terkait pelanggaran HAM? Mereka mendesak segera diadilinya pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran berat HAM.
Karena sulit dipahami, Fahri curiga tidak ada pihak yang berani menjelaskan soal substansi dari UU MD3. Menurutnya, gagasan dalam UU MD3 hanya bisa diterjemahkan oleh seorang negarawan.
"Kalau enggak negarawan enggak bisa paham itu pasal-pasal itu ya," ujarnya.
Salah satu pasal baru dalam UU MD3 yang membuat Presiden Jokowi kaget adalah pasal 245 terkait hak imunitas anggota DPR. Pasal tersebut mengharuskan lembaga hukum untuk meminta pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan izin presiden untuk memanggil dan memeriksa anggota DPR.
Fahri menegaskan sebenarnya tak ada perubahan yang substansial dalam UU MD3, termasuk soal hak imunitas anggota DPR. Ketentuan soal pemberian hak imunitas, dijelaskannya, sudah diatur dalam Pasal 20 ayat 3 UUD 1945.
"Jangan-jangan Presiden enggak tahu bahwa hak imunitas itu ada dalam UUD," tegasnya.
Bahkan, kata Fahri, di seluruh negara, setiap anggota parlemen diberi hak imunitas. Pemberian hak imunitas dimaksudkan untuk membatasi dan mengimbangi kekuatan besar yang dimiliki eksekutif.
"Karena pada dasarnya parlemen itu diciptakan untuk mengimbangi eksekutif yang sangat kuat. Atau bahkan pakai teori ya filsafatnya itu, kekuasan itu dulu cuma ada eksekutif. Ini bicara sejarah kekuasan," jelas Fahri.
Fahri menegaskan RUU MD3 yang telah disepakati bersama dalam rapat paripurna akan tetap sah dengan sendirinya dalam kurun waktu 30 hari meski Jokowi tak menandatanganinya. Fahri menduga Jokowi melakukan pencitraan jika tak menekennya karena UU tersebut akan tetap sah.
"Meski demikian kalau UU pasti berlaku ya kan. 30 hari Presiden enggak mau menunjukkan sikap karena mau pencitraan begitu ya ya itu akan jadi UU," katanya.
Lebih lanjut, Fahri menganggap masalah ini terjadi bukan karena adanya komunikasi yang tidak baik antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dengan Presiden Jokowi terkait UU MD3. Menteri Yasonna justru disebut telah cukup dominan dan memahami gagasan dari UU MD3.
"Enggak, saya yakin Pak Yasonna sebagai mantan anggota DPR berkali-kali, dia paham ini dan saya nonton juga itu pembahasannya itu membaca juga notulensinya itu. Pak Yasonna cukup dominan, dia paham dan pikirannya benar," tuturnya.
"Cuma ini kan meyakinkan Pak Jokowi enggak gampang. Karena Pak Jokowi sendiri tidak gampang dibikin mengerti ya kan? Ini saya bilang berat ini ilmu gitu loh, mesti ada yang bisa meyakinkan bahwa ini berat," sambung Fahri.
Diketahui, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Hamonangan Laoly menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Yasonna melaporkan soal Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang baru disahkan DPR beberapa waktu lalu.
Dari UU MD3 tersebut, Jokowi menyoroti sejumlah pasal. Di antaranya soal imunitas DPR, dan pemanggilan paksa pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga dengan meminta bantuan pihak kepolisian. Menurut Yasonna, Jokowi sangat kaget melihat adanya sejumlah pasal baru dalam UU MD3.
"Jadi Presiden cukup kaget juga. Makanya saya jelaskan, masih menganalisis ini dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan (Presiden) tidak mendandatangani," tegasnya.
Yasonna menjelaskan, sebelumnya pemerintah hanya menyetujui perubahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD. Yakni masing-masing mendapat penambahan kursi wakil pimpinan sesuai diatur dalam Pasal 15, Pasal 84, dan Pasal 260. Namun dalam perkembangannya, DPR membuat pasal-pasal baru yang dianggap tidak perlu.
Baca juga:
Usai NasDem, PPP dorong Jokowi terbitkan Perppu batalkan UU MD3
Bukan lewat tanda tangan, tak setuju UU MD3 seharusnya Jokowi terbitkan Perppu
Daripada tunggu uji materi, PPP sarankan Jokowi terbitkan Perppu MD3
Fahri Hamzah sebut Jokowi pencitraan jika tak teken UU MD3
Tak setuju sejumlah pasal di UU MD3, PSI bakal ajukan uji materi ke MK