Fenomena 2014 (Catatan Goenawan Mohamad)
Tak kenal lelah. Mengeluarkan dana sendiri. Mengalokasikan waktu dan tenaga tanpa hitungan untung rugi.
Jika ada sesuatu yang baru dalam pemilihan presiden 2014, itu adalah banyaknya warganegara yang masuk ke gelanggang pertarungan dan jadi relawan. Dengan perasaan yang intens.
Terutama di kalangan generasi muda. Tak kenal lelah. Mengeluarkan dana sendiri. Mengalokasikan waktu dan tenaga tanpa hitungan untung rugi. Datang ke pertemuan-pertemuan. Mendesain dan memproduksi poster, stiker, spanduk, selebaran; mencetak buletin, menulis di media sosial, di Twitter, Facebook dan dalam ribuan blog di internet; membuat Iklan di radio dalam 20 bahasa daerah; mengkreasi pelbagai film pendek di YouTube; membuat komik, membuat pertunjukan musik, atau membaca puisi.
Dan tak kurang dari itu, sebagian lagi berjalan menyusur wilayah ke wilayah, menemui kiyai, menemui buruh dan tani, dan entah siapa lagi. Untuk mengajak.
Mereka berusaha keras untuk memenangkan Jokowi -- terutama ketika tampak tanda-tanda Jokowi bisa kalah. Mereka sadar dana kampanye Jokowi - JK tak sebesar dana kampanye Prabowo - Hatta. Mereka merasa organisasi resmi Tim Sukses tidak tangkas dan tak rapi dan tak sesiap kubu pesaing. Tapi mereka tampaknya tak hendak berpanjang-panjang mengeluhkan itu.
Tak kurang dari itu, mereka melihat sendiri bagaimana fitnah-fitnah tentang Jokowi tersebar secara sistematis dan merasuk ke kepala banyak orang. "Menurut saya", kata seorang relawan yang pada jam-jam kantor menjadi sopir, "itu mah kezaliman."
Mereka, para relawan itu, bukan orang-orang yang dibayar. Mereka bukan orang-orang yang dikomando. Ungkapan mereka spontan. Beraneka-ragam. Kaya akan ide dan humor -- meskipun kadang-kadang sengit dan kasar.
Dan yang tak kalah mengharukan: mereka bersuara dari seluruh penjuru dunia, di mana ada warganegara Indonesia tinggal.
Apa yang menyebabkan fenomena politik 2014 ini?
Rasanya jawabnya sederhana: jutaan warganegara itu telah lama muak dengan tokoh politik yang korup dan itu-itu juga. Mereka berharap dalam diri Jokowi ada harapan yang lain.
Tentu, berlebihan jika menganggap Jokowi seorang ratu adil yang bisa memenuhi impian semua orang. Tapi tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ribuan relawan itu, yang siang malam bekerja, sedang menolak putus asa.
Mereka masih ingin percaya bahwa Indonesia masih bisa diperbaiki. Ya, Indonesia: negeri mereka satu-satunya.