Pembelaan loyalis, Mega tak bisa digantikan Jokowi
Tokoh senior seperti Megawati Soekarnoputri perlu memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muda.
Hasil survei Lembaga Survei Cyrus Network soal regenerasi partai politik seakan menggoyang internal PDIP. Sebab, dalam survei itu, mayoritas responden menilai, tokoh-tokoh senior seperti Megawati Soekarnoputri perlu memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muda untuk memimpin partai.
Dalam survei yang dilakukan pada 1-7 Desember lalu itu, 80 persen responden menginginkan agar partai dipimpin oleh ketua umum yang berusia 41-50 dan 51-60 tahun. Selain itu, 61 persen menyatakan bahwa sebaiknya tokoh partai yang berusia di atas 60 tahun ditempatkan sebagai dewan pembina, dewan pertimbangan, bukan pengurus harian partai.
Yang menarik dalam survei ini, publik lebih mendukung Jokowi menjadi ketua umum PDIP ketimbang Megawati Soekarnoputri. Padahal, hasil Rakernas PDIP beberapa waktu lalu, Megawati dipastikan bakal kembali dipilih menjadi ketum dalam kongres nanti.
Dalam survei ini, Jokowi mendapat dukungan responden sebesar 26 persen untuk memimpin PDIP. Sementara Mega hanya mendapatkan 16 persen.
"Kalau di PDIP karena ada tokoh lain seperti Jokowi dan Puan, di Demokrat ada Ibas dan Marzuki Alie. Kalau di Golkar dukungan internal kecil karena faktor internal yang sedang bermasalah," kata CEO Cyrus Network, Hasan Nasbi saat menggelar konferensi pers di Restoran D'Consulate, Jakarta Pusat, Senin (15/12).
Survei dilakukan di 33 Provinsi yang ada di Indonesia dengan jumlah responden sebanyak 1.220 orang. Tingkat kepercayaan survei sebesar 95 persen dengan margin error 3,1 persen.
Akibat survei itu, internal PDIP pun gerah. Para loyalis Mega langsung angkat bicara. Berikut ulasannya:
-
Bagaimana hubungan Jokowi dan PDIP merenggang? Diketahui, hubungan Jokowi dengan partai Pimpinan Megawati Soekarnoputri itu merenggang saat keduanya beda pilihan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
-
Apa yang dikatakan Habiburokhman tentang hubungan Jokowi dan PDIP? Habiburokhman menyebut, sejumlah orang yang kalah pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah move on, usai pesta demokrasi tersebut dianggap berakhir. "Mungkin dari 100 persen sudah 60 persen orang move on. Kemudian juga tahapan kedua hari ke hari misalnya adanya statement dukungan, statement selamat dari kepala-kepala negara penting di dunia itu mungkin membuat sekitar 80 persen orang move on. Terakhir penetapan KPU kemarin mungkin sudah 95 persen orang move on," jelasnya.
-
Mengapa Prabowo dikatakan dapat menjembatani hubungan Jokowi dengan PDIP? Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, Ketua Umumnya yakni Prabowo Subianto akan menjadi jembatan untuk mengembalikan lagi hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Diketahui, hubungan Jokowi dengan partai Pimpinan Megawati Soekarnoputri itu merenggang saat keduanya beda pilihan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Mengapa Prabowo dan SBY ingin bertemu Megawati? Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan keinginan untuk melakukan pertemuan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Eva: Siapa yang bisa bikin solid PDIP kalau bukan Mega?
Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari menyebut Jokowi tidak akan bersedia maju sebagai Ketua Umum PDIP. Menurutnya, Jokowi malah mendukung Megawati kembali menduduki posisi Ketua Umum.
"Ibu Mega maju lagi ya diminta Jokowi. Jokowi bilang butuh persatuan dan dukungan dari ibu untuk 5 tahun ke depan. Siapa yang bisa bikin solid PDIP kalau bukan Ibu Mega?" kata Eva saat diskusi dengan Cyrus Network tentang regenerasi kepemimpinan partai politik di Restoran D'Consulate, Jakarta Pusat, Senin (15/12).
Menurut Eva, alasan lain Jokowi tidak akan maju sebagai calon Ketua Umum PDIP dikarenakan dia tidak ingin merangkap dua jabatan penting.
"Jokowi kan Presiden, dia enggak mau punya jabatan double. Saya ragukan keinginan publik itu akan tercapai," tegas Eva.
Survei sebut Jokowi pantas gantikan Mega itu mengada-ada
Politikus PDIP Hendrawan Supratikno menyatakan bahwa keputusan Megawati Soekarnoputri jadi ketua umum berdasarkan pandangan DPD di Rakernas. Dia tak mau menanggapi serius survei Cyrus Network yang menyatakan Joko Widodo (Jokowi) lebih layak jadi ketua umum PDIP.
"Rakernas di Semarang bulan Oktober, seluruh DPD usulkan Mega jadi ketum kembali," kata Hendrawan saat dihubungi, Senin (15/12).
Menurut dia, survei itu mengada-ada. Sebab, keputusan Megawati ketua umum sudah ditetapkan dalam Rakernas.
"Survei itu tidak perlu dilakukan karena setelah keputusan Rakernas. Survei itu tampaknya mengada-ada. Sudah diputuskan kok dibuat survei lagi," terang dia.
Dia menambahkan, PDIP saat ini sudah menjadi partai pemerintah. Karena itu dibutuhkan soliditas yang salah satu caranya yakni mendaulat kembali Megawati menjadi ketua umum.
"PDIP sudah di dalam pemerintahan, maka partai ini harus solid. Bagaimana dukung pemerintah kalau tidak solid. Mega jadi ketum lagi, PDIP akan solid, menjamin 5 tahun ke depan, support ke pemerintahnya adalah all out," pungkasnya.
Figur Mega tak bisa diganti Jokowi
Politikus PDIP Masinton Pasaribu menyatakan penunjukan Megawati Soekarnoputri jadi ketua umum berdasarkan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut dia, Cyrus Network melakukan survei tidak melihat kondisi internal PDIP.
"Saya tidak tahu, survei yang dilakukan Cyrus itu dilakukan kemana, sementara kan kalau dalam partai dia punya mekanisme sendiri, apalagi PDIP sudah aklamasikan Bu Mega sebagai ketum dalam Kongres 2015," kata Masinton di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/12).
Dia menjelaskan, yang paling ingin Megawati kembali jadi ketua umum adalah Jokowi. Karena itu, dia mempertanyakan jika survei ini justru menghasilkan yang lebih pantas jadi ketum adalah Jokowi ketimbang Megawati.
"Justru paling awal mencalonkan Mega datang dari Pak Jokowi pertama sekali mencetuskan pecalonan Bu Mega pada Rakernas Semarang lalu justru Pak Jokowi," tegas dia.
Dia menilai, Megawati terpilih karena PDIP membutuhkan figur yang tenang dan ideologis. Menurut dia, ciri dari PDIP yakni demokrasi terpimpin.
"Kader di bawah ngikut semua, kekhasan PDIP itu demokrasi terpimpin. Butuh figur tenang sebagai simbol pererat dan simbol ideologi jika tidak ada masalah," pungkasnya.
Basarah: Jokowi tidak mungkin maju sebagai ketum
Wasekjen PDIP Achmad Basarah menanggapi santai hasil survei Cyrus Network yang menyatakan Jokowi lebih layak jadi ketua umum ketimbang Megawati Soekarnoputri. Menurut dia, Jokowi tidak mungkin jadi ketua umum PDIP dalam Kongres 2015.
"Silakan saja berpendapat. Urusan PDIP adalah urusan rumah tangga PDIP. Orang boleh beri pendapat tapi pada akhirnya keputusan penting menyangkut masa depan partai menjadi yuridiksi politik partai," ujar Basarah saat dihubungi, Senin (15/12).
Basarah menegaskan, Jokowi tidak mungkin maju menjadi ketua umum. Sebab, presiden tidak mungkin rangkap jabatan menjadi ketua umum.
"Jokowi tidak mungkin maju sebagai ketum. Alasannya Jokowi sudah menggariskan bahwa menteri di kabinetnya dilarang rangkap jabatan di partai," tegas dia.
Logikanya sederhana, kata dia, kalau menteri yang tugasnya adhoc dilarang, karena dianggap mengganggu fokus apalagi dengan jabatan presiden yang tanggung jawabnya lebih luas dari menteri.
"Tidak mungkin dia dobel standar. Lalu pada Rakernas kemarin, dia yang mencalonkan Megawati sebagai ketua umum. Lalu usulan Jokowi itu diamini peserta rakernas. Jadi saat kongres tinggal ditetapkan Megawati sebagai ketum. Jadi sangat tidak mungkin Pak Jokowi dicalonkan," tegas dia