Ini Penyebab Cuma Boleh Ada 3 Partai Politik di Era Presiden Soeharto
Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah naungan Golkar, Ini cara Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.
Di Zaman Orde Baru, hanya ada tiga partai yang diperbolehkan ikut Pemilu. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah naungan Golkar, Ini cara Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.
Pemilu pertama era Orde Baru digelar tahun 1971. Ini adalah pemilu kedua di Indonesia. Satu-satunya Pemilu sebelumnya yang pernah digelar adalah tahun 1955 di era Soekarno.
-
Bagaimana Soeharto mendekati keluarga dalam politik? “Ini pendidikan politik yang kurang baik, zaman Pak Harto selama sekian puluh tahun itu tidak pernah itu anak-anaknya terlibat politik praktis cuma dia di bisnis. Sekarang ini (era Jokowi) politik iya, bisnis iya,” kata Djarot.
-
Bagaimana Soeharto mengenal keluarga BJ Habibie? Soeharto mengaku cepat akrab dengan keluarga BJ Habibie karena ibu Habibie, Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo atau R.A. Habibie yang berasal dari Yogyakarta masih fasih berbahasa Jawa.
-
Mengapa Soeharto dan keluarga Habibie menjadi dekat? "Hal ini patut saya kenang. Di rumah keluarga Habibie itu terdapat suasana yang membuat anggota Staf Brigade kami kerasan," kata Soeharto dikutip dari HMSoeharto.id.
-
Bagaimana cara anak-anak Soeharto mempererat hubungan mereka? Sering Berkumpul Untuk Makan Bersama Walaupun jarang mendapat perhatian, anak-anak Presiden Soeharto ternyata sering berkumpul untuk sekadar makan bersama. Mereka juga mengundang anak dan cucu mereka dalam momen tersebut.
-
Apa yang dimiliki anak-anak Soeharto dalam bisnis? Beberapa sumber mengungkapkan kalau anak-anak Soeharto memiliki bisnis berskala besar dan menggurita, meliputi hotel, transportasi, media, hingga migas dan pertambangan.
-
Siapa yang menjodohkan Soeharto dengan Ibu Tien? Ibu Prawiro, mengingatkan Soeharto, saat itu sudah 26 tahun. Usia yang cukup matang untuk berumah tangga. Pemuda seumuran di desanya nyaris semua sudah berkeluarga, tinggal dia yang membujang.
Dalam Pemilu 1971 ada 360 kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber Golongan Karya. Jumlah ini ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau TNI. Jumlah total kursi di DPR menjadi 460.
Golkar tak masuk ke dalam sembilan parpol itu. Dia merupakan gabungan dari sekitar 200 organisasi penyokong Orde Baru yang kemudian menjadi satu bendera Golongan Karya.
Golkar tercatat sebagai pemenang dengan 227 kursi di DPR. NU mendapat 58 kursi, Parmusi 24 kursi. Lalu PNI mendapat 20 kursi. Sisanya direbut Parkindo, Murba dan Partai Katolik.
Diperas Jadi Tiga
Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu terlalu banyak partai di Indonesia. Dia berkaca pada kegagalan konstituante tahun 1955-1959, dimana seluruh parpol cuma berdebat dan ngotot sehingga tak ada keputusan yang bisa diambil.
Soeharto memanggil para ketua parpol dan menjelaskan pemikirannya. Menurutnya Parpol harus menyeimbangkan antara material dan spiritual. Kira-kira Nasionalis Religius atau Religius Nasionalis, kalau istilah parpol zaman sekarang.
"Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa dipaksa," kata Soeharto dalam Biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.
Partai Katolik, PNI dan IPKI mengerucut menjadi satu di PDI. Sementara parpol Islam yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti mengelompok jadi satu.
"Saya tekankan jangan menonjolkan agamanya. Karena itu namanya pun tidaklah menyebut-nyebut Islam. melainkan Partai Persatuan Pembangunan dengan program spiritual-materil," kata Soeharto.
Sementara organisasi di bawah Golkar tumbuh sebagai satu kekuatan sendiri.
Maka di DPR kemudian terbentuklah tiga fraksi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya.
Partai Nurut Soeharto
Tak ada penolakan dari partai-partai politik itu. Menurut Soeharto tidak ada pimpinan parpol yang ngotot-ngototan soal konsep tadi.
Menurutnya kalau cukup tiga, tak perlu lagi sembilan partai. Toh, tujuannya satu yaitu Pancasila dan UUD 1945. Soeharto mengibaratkan seperti mobil berkendara. Tidak perlu balapan dan kebut-kebutan kalau satu tujuan. Parpol atau kendaraan
"Mari kita perkecil saja jumlah kendaraan itu. Tidak perlu terlalu banyak begitu. tetapi tidak perlu pula hanya satu kendaraan, dua atau tiga kendaraan, baiklah," kata Soeharto.
Tentara tetap Jadi Kekuatan Politik
Dalam rapat dengan Parpol tersebut juga dibahas soal politik tentara. Adalah IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik yang bertanya soal peran ABRI dalam politik dan Pemilu.
"ABRI jadi polisi militernya saja. Menggunakan kendaraannya sendiri, sambil mengatur lalu lintas," balas Soeharto sambil tertawa.
Artinya ABRI tetap menjadi fraksi sendiri dalam DPR. Tak perlu masuk ke Golkar atau salah satu parpol tersebut.
Konsep Pemilu dengan Tiga Partai dan Fraksi ABRI ini bertahan selama lima kali Pemilu selama Orde Baru. Mulai dari Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Golkar yang selalu mendapat dukungan dari aparatur sipil dan militer selalu menang telak di setiap Pemilu.
Peta politik berubah setelah reformasi dan Soeharto tumbang. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. PDI Perjuangan memenangkan Pemilu untuk pertama kali.
Catatan Redaksi:
Selama Bulan Oktober ini kami persembahkan tulisan tematik Bulan Para Presiden. Merdeka.com akan mengangkat kisah-kisah menarik dan cerita di balik sosok para presiden RI. Mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi. Termasuk cerita mereka dengan para menterinya. Selamat membaca.