Kisah Soeharto Muda Sempat Tak Percaya Diri Saat Hendak Melamar Ibu Tien, Ini Alasannya
Soeharto muda sebenarnya sudah lama mengenal gadis itu. Tapi kondisi ekonomi dan latar belakang keduanya berbeda jauh.
Usianya sudah 26 tahun, namun Overste Soeharto belum juga menikah. Bibinya datang untuk menjodohkannya dengan puteri dari keluarga ningrat.
Kisah Soeharto Muda Sempat Tak Percaya Diri Saat Hendak Melamar Ibu Tien, Ini Alasannya
Penulis: Arsya Muhammad
Soeharto muda sebenarnya sudah lama mengenal gadis itu. Tapi kondisi ekonomi dan latar belakang keduanya berbeda jauh.
-
Kapan Soeharto dan Ibu Tien menikah? Keduanya Menikah di Solo tanggal 26 Desember 1947 Tidak ada dokumentasi perinkahan keduanya. “Maklumlah, suasana masih serba darurat,“ kenang Soeharto.
-
Bagaimana Soeharto bertemu Ibu Tien? Rupanya mereka sudah punya calon. Wanita itu adalah Siti Hartinah. Teman sekelas adik Soeharto, saat sekolah di Wonogiri.
-
Siapa yang menikah dengan cucu Soeharto? Artis lainnya, Rika Callebaut, juga menikah dengan cucu Presiden Soeharto, Ari Sigit, pada tahun 2003.
-
Siapa yang mempersunting Ibu Tien? Saat itu Soeharto masih berusia 26 tahun dan berpangkat Letnan Kolonel, Komandan Resimen TNI di Yogyakarta. Pada Suatu Hari, Datanglah Keluarga Prawirowihardjo Ibu Prawiro mengingatkan Soeharto untuk segera menikah.
-
Kenapa Soekarno menikahi Siti Oetari? Kasih Sayang Soekarno Jembatan Peneleh Bung Karno pun menerima saran untuk menikahi Siti Oetari karena ia juga iba melihat gurunya terpuruk dalam kesedihan.
-
Apa yang Titiek Soeharto rasakan di pernikahan Puteri Azemah? Titiek menyaksikan pernikahan Puteri Azemah, putri Sultan Hassanal Bolkiah. Ia menggambarkan pernikahan itu sebagai momen meriah yang tak terlupakan.
Siti Hartinah masih kerabat keraton, ayahnya wedana. Sementara Soeharto saat itu tinggal menumpang di rumah paman dan bibinya.
Ayah Soeharto hanya seorang petugas pengairan atau ulu-ulu di desanya. Petani yang tidak punya tanah sejengkal pun, selain tanah jabatan yang dipinjamkan desa selama Kertosudiro berdinas.
Hingga suatu hari di tahun 1947, saat itu Soeharto sudah berpangkat Overste atau Letnan Kolonel, komandan pasukan TNI di Yogyakarta, Datanglah paman dan bibinya, keluarga Prawirowihardjo.
Ibu Prawiro, mengingatkan Soeharto, saat itu sudah 26 tahun. Usia yang cukup matang untuk berumah tangga. Pemuda seumuran di desanya nyaris semua sudah berkeluarga, tinggal dia yang membujang.
Awalnya Soeharto tak menganggap penting nasihat bibinya. Sebagai perwira TNI, dirinya masih disibukan dengan perang kemerdekaan dan Agresi Militer Belanda I.
Belum ada pikiran untuk berumah tangga. Namun setelah didesak oleh bibinya, Soeharto luluh juga.
“Ibu Prawiro menekankan bahwa perkawinan tidak perlu terhalang oleh perjuangan. Membentuk keluarga adalah penting,”
kata Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.
Tapi siapa pasangannya? Saat itu Soeharto tidak punya calon. Dia bertanya balik pada keluarga Prawiro. Siapa kira-kira yang bersedia?
Bu Prawiro menjawab dengan yakin. “Serahkan persoalan itu pada kami. Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu Sulardi, waktu di Wonogiri?”
Soeharto mengangguk. Mengiyakan. Namun dia sempat ragu dan tidak percaya diri.
“Apa dia akan mau? Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat, ayahnya wedana. Pegawai Mangkunegaraan,” tanya Soeharto ragu.
Namun Bu Prawiro tampaknya tidak menganggap soal asal-usul keluarga dan latar belakang keluarga ningrat sebagai sebuah permasalahan. Dia cukup yakin keluarga Siti Hartinah akan menerima Soeharto.
Langkah selanjutnya, seperti budaya pada waktu itu, Keluarga Prawiro menanyakan soal rencana perjodohan ini pada seseorang yang dekat dengan keluarga Siti Hartinah.
Lamaran Diterima
Sesuai dengan perkiraan Ibu Prawiro, ternyata orang tua Siti Hartinah, Pak Soemoeharjomo dan Ibu Hatmanti bersedia menerima perjodohan tersebut. Maka digelarlah upacara nontoni, pertemuan antara yang melamar dan dilamar.
Soeharto merasa agak kikuk saat itu. Sudah lama dia tidak melihat Siti Hartinah. Di hatinya pun masih ada keragu-raguan.
“Apa dia nanti akan benar-benar suka pada saya,” pikir Soeharto.
Namun semua proses berjalan dengan lancar. Tak lama kemudian ditetapkan hari baik untuk kedua calon mempelai. Soeharto dan Siti Hartinah menikah tanggal 26 Desember 1947 di Solo.
Soeharto mengenang dia naik mobil dinas tua dari Yogyakarta. Dia mengenakan busana Jawa lengkap dengan keris di punggung.
“Waktu akan naik kendaraan itu, bukan main repotnya. Sulardi yang mengantar saya, mengganggu saya sepanjang jalan,” kenang Soeharto.
Pernikahan itu digelar sore hari. Cukup banyak yang hadir karena Pak Soemoharjomo, ayah Siti Hartinah, cukup terpandang di kota Solo.
Namun karena masih dalam kondisi darurat perang, tidak ada tukang potret yang mengabadikan pernikahan mereka. Saat syukuran malam harinya pun penerangan dimatikan dan mereka hanya menyalakan lilin.
“Kota Solo waktu itu harus digelapkan di waktu malam, mencegah terjadinya bahaya besar jika Belanda melakukan serangan udara lagi,” jelas Soeharto.
Tiga hari di Solo, Soeharto kemudian membawa istrinya ke Yogyakarta. Mulailah Ibu Tien masuk dalam dunia ketentaraan mendampingi Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen.
Pernikahan keduanya langgeng puluhan tahun. Ibu Tien mendampingi Soeharto mulai dari perwira menengah, kemudian jenderal TNI dan akhirnya menjadi Presiden Kedua RI.
“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, witting tresna jalaran saka kulina, datangnya cinta karena bergaul dari dekat,” tutup Soeharto.