Babak Baru Tragedi Kanjuruhan, Keluarga Korban Tuntut Ganti Rugi Rp17,5 Miliar
Ada 73 keluarga korban yang menuntut restitusi. Permohonan itu sendiri diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
73 Dari 135 korban tewas akibat tragedi maut Stadion Kanjuruhan, Malang mengajukan tuntutan pada lima terpidana kasus itu agar membayar restitusi atau ganti rugi sebesar Rp17,5 miliar. Tuntutan atas pembayaran restitusi itu pun diajukan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Daniel Siagian dari LBH Pos Malang yang mendampingi keluarga mengatakan, setidaknya ada 73 keluarga korban yang menuntut restitusi. Permohonan itu sendiri diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Pemohon ini ada sekitar 73 keluarga korban yang hari ini yang mengajukan restitusi, sejak Oktober 2023,” kata Daniel, Kamis (21/11).
Daniel menjelaskan, berdasarkan asesmen yang dilakukan LPSK, 73 korban itu menuntut para terpidana kasus ini membayar restitusi sebesar Rp17,5 miliar.
Lima terpidana itu antara lain, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Security Officer pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno, Eks Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
“Kalau total nilai ini genapnya ya Rp17,5 miliar, yang dibebankan kepada kelima para terpidana,” ucapnya.
Daniel menjelaskan, besaran restitusi yang dituntut itu dihitung dari kerugian meteriil dan imateriil yang dialami keluarga korban pasca Tragedi Kanjuruhan.
“Secara psikologisnya kemudian secara ekonominya, itu beberapa hal yang di asesmen oleh LPSK untuk menghitung nilai kerugian akibat dampak yang ditimbulkan setelah adanya tragedi Kanjuruhan,” katanya.
Pengacara publik LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan mengatakan, permohonan restitusi ini adalah salah satu upaya hukum keluarga korban untuk menuntut pertanggungjawaban ke para terpidana.
“Jadi upaya restitusi ini adalah salah satu kompensasi yang dilakukan menurut hukum. Jadi bukan santunan yang diberikan di luar proses hukum. Tapi Ini adalah upaya yang meminta pertanggungjawaban melalui proses hukum,” kata Jauhar.
Sementara itu, sidang perdana permohonan restitusi yang diajukan 73 keluarga korban ini terpaksa ditunda dengan alasan polisi masih sibuk melakukan pengamanan Pilkada serentak 2024.
“Sidang harus ditunda dengan alasan keamanan, karena polisi melakukan pengamanan Pilkada, sampai penghitungan suara,” kata Ketua Majelis Hakim Nur Kholis.
Pernyataan hakim itu kemudian membuat sidang berjalan alot. Pihak Lembaga Perlinduangan Saksi dan Korban (LPSK) selaku kuasa pemohon atau keluarga korban, merasa keberatan.
Hakim pun sempat dua kali menskors jalannya sidang untuk memberikan waktu berunding kepada pihak LPSK dan jaksa.
“Pada dasarnya kami tidak ada masalah bila persidangan ditunda, asal sampai penghitungan suara saja. Kalau usul kami, ditunda sampai pemungutan suara mungkin masih masuk akal tapi kalau sampai penghitungan suara itu terlalu lama,” kata salah satu perwakilan LPSK, Riyanto Wicaksono saat persidangan.
Majelis hakim yang terdiri dari Nur Kholis, Khadwanto dan I ketut Kimiarsa kemudian berembuk. Mereka lalu memutuskan sidang lanjutan permohonan restitusi ini digelar dua pekan lagi atau tepatnya pada Selasa (10/12) mendatang.
“Kita akan mengambil jalan tengah. Kita tidak pro sini pro sini. 27 (November) kan Pilkada ya, kalau Selasa tanggal 10 (Desember) gimana? Setuju ya. Kalau sampai perhitungan terlalu lama,” kata Nur Kholis.
Ia mengatakan, di sidang selanjutnya hakim ingin agar lima termohon yakni para terpidana tragedi Kanjuruhan atau kuasa hukumnya dihadirkan dalam persidangan.
“Dengan demikian sidang di tunda tanggal 10 Desember 2024 untuk memanggil pihak yang termohon,” tutup Nur Kholis.