Performa PKPI 2014: Penumpang terakhir yang terlempar
"Partai lain sudah lolos sebagai peserta pemilu sedangkan mereka masih bertempur di pengadilan," kata Ambardi.
Partai ini didirikan sejak 15 Januari 1999 dengan nama sebagai Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Elite partai kemudian mengganti namanya menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) pada 9 September 2002 agar dapat mengikuti Pemilu 2004.
Saat bertarung di Pemilu 1999, PKP hanya berhasil memperoleh 1.065.686 suara nasional atau 1,01 persen. Partai ini pun diberi jatah 4 kursi di DPR. Setelah berganti nama jadi PKPI, di Pemilu 2004 PKPI memperoleh 1.420.085 suara nasional atau 1,26 persen, dan mendapatkan jatah 1 kursi di DPR RI.
Dalam Pilres 2004, PKPI bersama Partai Demokrat dan PBB mendukung pencalonan SBY-JK yang akhirnya menjadi pemenang pilpres.
Sementara Pemilu 2009, suara PKPI turun di peringkat 16 dengan 936.133 suara (0,90 persen). Partai pimpinan Bang Yos ini bahkan tak lolos Parliamentary Threshold 3,5 persen sehingga tidak mendapat satu pun kursi di DPR RI.
Hal yang sama juga terjadi di Pemilu 2014. Dalam hitung cepat di berbagai lembaga survei, partai ini berada di urutan paling buncit hanya mendapat 0,97 persen suara. Itu berdasarkan versi hitung cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI). Sedangkan Litbang Kompas hanya sebanyak 0,94 persen.
Sama halnya dengan Partai Bulan Bintang (PBB), kegagalan PKPI untuk mengirim wakilnya ke DPR RI tak lepas dari waktu yang sangat pendek untuk menentukan calon anggota legislatif yang akan ditempatkan di DPR. Di saat bersama, partai-partai lainnya sudah siap bertempur.
"Partai ini, termasuk PBB terlalu pendek waktunya, partai lain sudah lolos sebagai peserta pemilu sedangkan mereka masih bertempur di pengadilan, jadi waktunya pendek. Mau dapet apa? Apalagi ini partai baru," ujar Direktur Riset LSI, Kuskrido Ambardi saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (11/4) kemarin.
Tak hanya itu, keberadaan Sutiyoso sebagai tokoh partai juga tak mampu mendongkrak suara partai ke tingkat yang lebih tinggi. Kuskrido menilai, sosok mantan gubernur DKI Jakarta itu seharusnya sudah pensiun dari pemerintahan sehingga tidak memberikan gairah kepada masyarakat untuk memilih mereka.
"Sutiyoso sudah pensiun dari pemerintahan, bahkan sebelum Foke. Itu jangan-jangan yang menjadi gairah politik menurun karena tidak cukup mendorong partisipasi publik memilih PKPI," paparnya.