Perludem Nilai Rekapitulasi Elektronik Tak Dapat Gantikan Rekap Manual
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penggunaan apilkasi Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) untuk perhitungan suara pada Pilkada 2020 tidak cukup memakai dasar hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penggunaan apilkasi Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) untuk perhitungan suara pada Pilkada 2020 tidak cukup memakai dasar hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Perludem menilai aplikasi Sirekap belum dapat menggantikan rekap manual dalam Pilkada 2020.
"Dari wacana yang berkembangkan elekronik rekap ini akan digunakan pada Pilkada 2020 nanti. Tetapi dalam kerangka hukum penggunan IT di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 masih belum cukup memadai," ujar Peneliti Perludem, Heroik M. Pratama dalam sesi diskusi virtual, Rabu (26/8).
-
Bagaimana Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
-
Apa yang didemo Mayjen Purn Sunarko di KPU? Soenarko menjelaskan, tuntutan yang akan disuarakan adalah mendesak agar KPU tidak mengumumkan hasil pemilu yang dianggapnya curang. Soenarko pun berharap, aksinya nanti bisa menjadi pengingat bagi penyelenggara pemilu.
-
Kapan Anies-Cak Imin mendaftar ke KPU? Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) telah resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan Capres-Cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
-
Bagaimana KPU mengesahkan suara Prabowo-Gibran? Sebelum mengesahkan perolehan suara itu, August Mellaz menanyakan pendapat kepada para saksi dan Bawaslu yang hadir. Setelah mereka setuju, Mellaz pun mengesahkan suara itu dengan mengetok palu.
Menurut dia, ada sejumlah pasal yang harus diatur kembali dan disesuaikan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 perubahan kedua Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Pasal 111 ayat (1) dari UU itu berbunyi 'Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara Pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU'.
"Misal dalam Pasal 85 Ayat (1) terkait pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara; point A. Memberi tanda satu kali pada surat suara dan point B. Memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. Namun, di point B bisa dimaknai sebagai elektronik voting, sedangkan yang akan digunakan itu elektronik rekapitulasi. Jadi bisa tidak sesuai," kata dia.
Termasuk, lanjut dia, pada Pasal 85 Ayat (2) yang mengatur secara spesifik bahwa ketika KPU menyiapkan perangkat elektronik yang digunakan itu harus mengukur kesiapan masyarakat infrastuktur prinsip efisiensi dan mudah.
"Terkahir, kita lihat pada pasal 111 ayat satu terkait perhitungan suara dan rekapitulasi suara manual dan atau elektronik di atur dalam praturan KPU. Nah menurut kami, walau sudah diatur perhitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik, tetapi itu mengatur e-votting bukan e-rekapitulasi," kata dia.
Atas hal itu, Heroik menilai apabila ada obsi terkait apa yang belum diatur dalam undang-undang sebagaimana masukan di atas, kemudian dibuat dalam Peraturan KPU (PKPU) hal itu bukan lah sebuah solusi, karena akan timbulkan masalah yang berujung pada legitimasi pelaksanaan pemilu.
"Tetapi kita ingat pada Pemilu 2019 ketika KPU menggunakan sistem sipol untuk pendaftatam partai politik dan itu diwajibkan. Namun hal itu dipersoalkan oleh Bawaslu karena tak diatur dalam Undang-Undang hanya diatur dalam PKPU. Maka dari itu kami khawatir, nanti ada persoalan legitimasi seperti itu," kata dia.
Jangan Dipakai Gantikan Rekap Manual di Pilkada 2020
Oleh sebab itu, Heroik menyarankan kepada KPU untuk tidak menerapkan Sirekap langsung sebagai pilot project atau percobaan untuk menggantikan sepenuhnya rekapitulasi manual dalam pelaksanaan Pilkada 2020 nanti.
"Dia lebih baik ditempatkan layaknya situng, sebagai data pembanding untuk informasi kepada publik dan bila ditempatkan layakanya situng itukan menjadi sarana bagi KPU tanpa adanya konsekuensi hukum. Namun bila itu dipakai ganti perhitungan manual, jelas akan ada konsekuensi hukum," imbaunya.
Terlebih, tambahnya, permasalahan infrastruktur yang belum memadai seperti jaringan internet menjadi alasan bagi KPU agar jangan memaksakan penggunaan Sirekap mengganti rekapitulasi manual. Apalagi aturan hukum yang masih kurang memadai untuk KPU menggunakam aplikasi Sirekap bisa jadi hambatan kedepannya.
"Nah ketika Sirekap hanya digunakan layaknya Situng, maka bisa diterapkan seperti di 270 daerah. Karena itu kan tidak akan mempengaruhi dan menggantikan hasil. Jadi itu bisa menjadi tolak ukur pengalaman dan mengetahui peta daerah mana yang mampu menggunakan Sirekap ini," jelasnya.
Namun, Heroik tetap optimis bila Indonesia bisa menerapkan teknologi eletroknik dalam pelaksaan pemilu, termasuk Sirekap. Karena penggunaan teknologi memiliki essensi memangkas tahapan yang begitu panjang dan melelahkan bagi penyelenggara pemilu. Bahkan memperkecil potensi manipulasi suara.
"Ini pasti bisa dilakukan. Dengan catatan persiapan yang panjang seperti halnya KPU telah menciptakan software Sirekap. Tetapi tidak lantas di Pilkada 2020 ini langsung diterapkan. Jadi lebih baik dipakai sebatas uji coba untuk studi penjajakan terlebih dahulu yang kemudian tidak mempengaruhi hasil," pungkasnya.