Rajut Kembali Persatuan Usai Pemilu 2019
Pemilu telah selesai. Kini saatnya melakukan rekonsiliasi kebangsaan dengan menghapus segala perbedaan. Jangan ada perselisihan di dunia nyata maupun di media sosial (medsos).
Pemilu telah selesai. Kini saatnya melakukan rekonsiliasi kebangsaan dengan menghapus segala perbedaan. Jangan ada perselisihan di dunia nyata maupun di media sosial (medsos).
"Kita harus kembali merajut persatuan dengan melakukan rekonsiliasi kebangsaan. Akhirilah politik identitas, akhirilah pilihan diksi yang membuat posisi orang lain tidak nyaman. Sudahlah kita tinggalkan segala bentuk hoaks, hate speech, dan lain-lain," ujar Direktur Eksekutif Emrus Corner, Emrus Sihombing dalam keterangannya, Selasa (2/7).
-
Mengapa Pemilu 2019 di sebut Pemilu Serentak? Pemilu Serentak Pertama di Indonesia Dengan adanya pemilu serentak, diharapkan agar proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
-
Apa yang menjadi fokus utama Pemilu 2019? Pemilu 2019 ini menjadi salah satu pemilu tersukses dalam sejarah Indonesia.Pemilu ini memiliki tingkat partisipasi pemilih yang sangat tinggi. Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berhasil memenangkan pemilu.
-
Apa yang diraih Partai Gerindra di Pemilu 2019? Pada Pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra kembali naik, walau tidak signifikan. Partai Gerindra meraih 12,57 persen suara dengan jumlah pemilih 17.594.839 dan berhasil meraih 78 kursi DPR RI.
Emrus menilai, selama kampanye Pemilu kemarin, ada semacam komunikasi politik yang kadang memunculkan pilihan diksi yang tidak edukatif di tengah masyarakat. Bahkan ada lontaran-lontaran yang membuat pihak tertentu tidak nyaman dengan pesan tersebut.
"Saya garis bawahi kata beradab. Komunikasi politik juga harus beradab jadi semua aktivitas kehidupan kita harus beradab, ekonomi beradab, politik beradab, komunikasi politik juga beradab, lontaran pesan yang disampaikan juga harus pilihan diksi yang beradab, karena itu landasan Pancasila," tuturnya.
Untuk itulah, pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan itu mengajak seluruh bangsa untuk kembali ke alam realitas dengan kembali berkontribusi membangun bangsa dan negara sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD ’45 yaitu memajukan kesejahteraan umum, kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, masyarakat juga tidak lagi memperbincangkan perbedaan atas dasar agama, suku, atau apapun yang sifatnya mempertajam perpecahan. Tetapi memperbincangkan tentang program atau segala perbaikan pembangunan juga mengkritisi hal-hal yang dinilai dari melenceng dari komitmen kebangsaan.
"Sekarang kita bersyukur sudah ada presiden terpilih, 2019-2024. Biarlah presiden terpilih menyusun kabinet dan programnya untuk mewujudkan janji-janjinya di masa kampanye. Dan mari kita dukung dengan memberikan masukan dan kritik dan sifatnya konstruktif," imbuhnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk bijak dalam menyikapi keriuhan media sosial (medsos). Ia melihat medsos seakan kebablasan. Pasalnya banyak pesan di medsos yang isinya hoaks, hate speech, dan pesan yang tidak memiliki rasa tanggung jawab.
"Yang dibutuhkan sekarang adalah kecerdasan masyarakat terhadap sosmed, sehingga tidak mudah tergiring dan percaya begitu saja," tukasnya.
Untuk menyikapi keliaran medsos ini, Emrus menyarankan agar masyarakat tidak menanggapi bila ada pesan atau konten medsos yang tidak beradab. Kedua perlu dipikirkan bersama ke depan dibuat aturan di mana setiap pemilik medsos harus dimulai dengan mendaftarkan e-KTP sehingga segala bentuk pesan dan konten yang dibuat bisa teridentifikasi.
Menurutnya, langkah itu bukan bagian dari membatasi kebebasan berpendapat, tetapi untuk mempermudah mengidentifikasi pembuat konten. Pasalnya, ruang publik itu bukan hanya milik pegiat medsos, tetapi milik bersama.
"Semua harus bertanggungjawab sehingga masyarakat harus didik segala perilakunya, termasuk perilaku komunikasi. Jadi tidak boleh sekehendak melontarkan pesan di medsos karena kita bersinggungan dengan manusia lain dan semua orang bisa mengakses. Kalau ingin bebas sendiri, teriak saja di ruang pribadi," tandasnya.
Baca juga:
Dapat 8 Kursi di DPRD DKI, PSI Ajak Warga Awasi Kinerja dari Dalam
KPU Ingin DPR Revisi UU Pemilu, Salah Satunya Terkait Keserentakan
Kuasai DPRD Kab Bogor, Gerindra Ingatkan Kader Tak Jadi Kacung Kelompok Tertentu
Punya Jam Terbang Mumpuni Jadi Menko, Puan Maharani Dinilai Bamsoet Cocok Pimpin DPR
Mahfud Md : Pemilu 2019 Disebut Terburuk Sepanjang Sejarah Itu Berlebihan