Risma tetap dukung Raperda Miras meski tak mengatur cukrik
Belum disahkan, Risma sudah didemo Asosiasi Pedagang Miras di Surabaya.
Kendati Raperda Pengendalian Minuman Beralkohol (Mihol) segera menjadi perda pada pertengahan April nanti, tapi aturan baru itu tidak mengatur masalah peredaran minuman keras oplosan berupa cukrik. Namun demikian, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, tetap mendukung pembentukan Perda Mihol oleh Pansus DPRD Surabaya, Jawa Timur, itu.
Menurut Risma, perda tersebut sejatinya didesain untuk mencegah penjualan minuman keras (miras) bagi pembeli di sembarang tempat. Selain itu, perda juga untuk membatasi konsumen, khususnya pelanggan di bawah umur atau anak-anak.
"Minuman keras selama ini kan masih dijual bebas di kampung-kampung. Itu yang dikhawatirkan akan bebas dijual ke siapa saja, termasuk anak kecil," ucap Risma, Selasa (25/3).
Saat ini, dia melanjutkan, pembahasan Raperda Mihol tersebut masih digodok di Komisi B DPRD Kota Surabaya. Meski baru akan disahkan menjadi perda pada pertengahan April, Risma mengaku pihaknya sudah mendapat protes dari pihak Asosiasi Pedagang Miras di Surabaya.
Namun, wali kota kelahiran Kediri ini ngotot mendukung pengesahan Raperda Mihol tersebut. Karena kebijakan pembatasan peredaran mihol berlabel itu sudah ada regulasinya, misalnya Perpres Nomor 74 Tahun 2013 yang ditandatangani presiden pada 6 Desember 2013 lalu, untuk menggantikan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Ini demi masa depan anak-anak bangsa," kata mantan Kepala Dinas Pertamanan ini kepada wartawan.
Dalam Raperda itu, dia melanjutkan, miras masih bisa dikonsumsi, dengan catatan dibeli di tempat-tempat tertentu seperti hotel berbintang, kafe, dan hiburan malam. Itupun harus diminum di lokasi alias tidak boleh dibawa pulang. "Di toko boleh, asalkan harus seizin Pemkot Surabaya," tegas alumnus Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) itu.
Sementara itu, Ketua Pansus Raperda Mihol DPRD Surabaya, Blegur Prijanggono, usai menggelar rapat dengan Komisi B mengatakan, napas dari Raperda yang digagasnya itu untuk membatasi mihol berlabel alias memiliki izin edar dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dan memiliki cukai.
Artinya, Raperda itu nanti hanya khusus untuk minuman-minuman produk industri. Sementara untuk minuman tradisional atau produksi home industri, seperti jenis cukrik, yang telah banyak memakan korban meninggal, belum memiliki aturan jelas.
"Itu kan jenis minuman tradisional yang tidak memiliki izin produksi dari Disperindag dan tidak memiliki cukai, jadi kita belum bisa membuatkan aturan khusus untuk menghentikan peredaran cukrik ini," ujar Blegur.
Untuk bisa dijual ke pasaran, miras produksi home industri yang tidak memiliki izin cukai tersebut, Blegur berharap pengusaha meminta izin edar ke pihak Pemkot Surabaya. "Minuman-minuman yang tidak diatur dalam perda, sebaiknya membuat izin ke pemkot lebih dahulu, agar bisa dijual sesuai dengan yang diatur dalam perda," kata dia.
Dengan Raperda itu, secara otonomi akan menata tempat distribusi mihol. Utamanya untuk pengendalian peredaran miras. Dalam Perpres 74 Tahun 2013, telah diatur tentang tiga tempat yang boleh menjual minuman beralkohol mulai dari golongan A hingga C.
Ketiga tempat itu adalah hotel berbintang 3 dan 4, bar dan restoran. Namun ada ketentuan lainnya bahwa tempat tersebut tidak boleh berdekatan dengan tempat ibadah, sekolah dan rumah sakit.