RUU Pemilu Batal, Siasat Singkirkan Anies Demi Memuluskan Gibran?
9 partai politik kompak menolak pembahasan Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
9 partai politik kompak menolak pembahasan Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya dua yang tegas menerima revisi yaitu Partai Demokrat dan PKS. Golkar dan NasDem yang awalnya mendorong UU Pemilu direvisi mendadak ikut arus.
Komisi II DPR RI akhirnya memutuskan tidak melanjutkan RUU Pemilu. Padahal, seluruh fraksi sudah menyepakati RUU Pemilu masuk Prolegnas Prioritas 2021.
-
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Gibran Rakabuming Raka? Penelusuran Setelah dilakukan penelusuran, klaim Gibran Rakabuming Raka ditangkap polisi karena narkoba adalah tidak benar alias hoaks.
-
Apa tujuan dari gagasan hilirisasi yang digaungkan oleh Gibran Rakabuming Raka? Program tersebut bertujuan untuk memperluas hilirisasi yang dilakukan pemerintah, terutama dengan mempertimbangkan cadangan nikel dan timah serta potensi besar energi baru dan terbarukan di Indonesia.
-
Apakah dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Gibran? Salah satunya, Gibran diduga melanggar administrasi pemilu karena melakukan kampanye di luar jadwal. Kubu pasangan Calon Presiden nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar heran laporan dugaan pelanggaran pemilu terhadap Calon Wakil Presiden nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka tidak diproses.
-
Kenapa Gibran menemui Gus Miftah? Gibran mengaku meminta bantuan doa agar diberikan lancar. Ia juga menegaskan pertemuannya dengan Miftah tidak membicarakan soal program dana abadi untuk Pondok (ponpes). "Silaturahmi, sudah lama tidak bertemu sejak coblosan," ungkapnya.
-
Kapan Partai Golkar memutuskan mengusung Gibran? Keputusan diambil dalam Rapimnas Golkar pada Sabtu (21/10).
-
Kapan Gibran bertemu Gus Miftah? Calon Wakil Presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka menemui pendakwah asal Yogyakarta, Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah, Selasa (26/3).
Dengan keputusan itu, pilkada akan digelar 'borongan' dengan pemilu nasional pada 2024 sesuai amanat UU. Sementara, dalam draf revisi, ada norma soal normalisasi pilkada yang bakal digelar 2022 dan 2023.
Perubahan sikap partai politik itu juga diakui Ketua Komisi II DPR setelah berkomunikasi Jokowi. Jokowi mengisyaratkan penolakan terhadap Revisi UU Pemilu saat bertemu juru bicara timses Pilpres 2019, Kamis (28/1) lalu.
Keputusan DPR itu juga memunculkan banyak pertanyaan. Demokrat 'mengendus' agenda politik Jokowi di balik pembatalan RUU Pemilu. Yakni mendorong putranya Gibran Rakabuming untuk Pilkada DKI Jakarta. Sebab tahun 2022 terlalu cepat bagi wali kota Solo terpilih itu, sehingga Jokowi mendukung Pilkada serentak di 2024.
"Mungkinkah keputusan ini dilatari oleh kemungkinan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta?," kata Wasekjen Demokrat Irwan, Kamis (11/2).
Selain itu, peluang dan modal Gibran maju di Pilgub DKI Jakarta dinilai semakin besar bila apabila digelar pada 2024. "Gibran kalau sukses di Solo bisa jadi modal," ucap Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.
PKS juga menilai pembatalan RUU Pemilu memicu banyak masalah dibanding manfaat. Salah satunya beban terhadap penyelenggara Pemilu karena Pilkada dan Pemilu Nasional digabung.
Terlepas dari masalah teknis pelaksanaan, Mardani menduga pembatalan tersebut sebagai upaya menyingkirkan Anies Baswedan dari kontestasi politik. Sebab, jabatan Anies sebagai Gubernur DKI berakhir 2022.
"Tanpa Pilkada 2022, Mas Anies dimasukkan kotak pada 2022. Mulai 2022 masuk kotaknya, dia (Anies) dibuat tersingkir," ujarnya.
Pasang Badan Koalisi Pemerintah
Politikus PDIP, Hendrawan Supratikno merespons dugaan partai Demokrat itu. Dia menyebut, mengaitkan penundaan RUU Pemilu untuk mencalonkan Gibran di DKI adalah prasangka buruk.
Menurut anggota DPR ini, saat ini Gibran butuh waktu bekerja sebagai Wali Kota Solo. Sehingga, Gibran ingin membuktikan kinerjanya untuk masyarakat Surakarta itu.
"Gibran butuh waktu untuk menunjukkan prestasi di Solo. Jadi prioritas utamanya pasti bagaimana menorehkan kinerja yang bisa dibanggakan, kinerja yang sesuai harapan rakyat," kata dia.
Meski begitu, kata Hendrawan, dalam politik selalu ada sesuatu yang tak terduga. Selalu ada kejutan yang mungkin bisa terjadi.
"Dalam politik, duga menduga, terka menerka, hampir jadi menu politik harian. Jadi tidak mengejutkan. Apalagi politik adalah seni dan kajian hal-hal yang serba mungkin," pungkasnya.
Selain PDIP, PPP juga mengkritisi cara berpikir politikus Demokrat tersebut. PPP menyatakan ketentuan Pilkada serentak digelar 2024 sudah lama diatur jauh sebelum Gibran mencalonkan diri sebagai wali kota Solo.
"Saya kira kawan-kawan Demokrat juga menggunakan logika, logika yang rasional, tidak menggebyah-uyah. Ketentuan Pilkada serentak 2024 itu di atur di Undang-undang Nomor 10 tahun 2016, jauh sebelum Anies maju Pilkada gubernur jauh sebelum Gibran maju Wali Kota," kata Ketua Bidang Fungsional DPP PPP, Achmad Baidowi, Kamis (11/2).
Artinya, Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada tersebut dibentuk atas kesadaran bersama. UU itu disahkan di Komisi II DPR dan Demokrat menjadi salah satu pimpinan komisi II kala Undang-undang itu disahkan.
"Orang tidak ada angin tidak ada hujan kok tiba-tiba Undang-undang yang mereka sahkan juga dianggap, digunakan Jokowi untuk mengadang Anies melalui Gibran, ini melawan kewarasan berpikir," ujar dia.
Maka dari itu, kata Awiek, sapaan akrabnya meminta Demokrat memahami kapan Undang-undang tersebut dibentuk. Di situ, ujar dia, jelas Demokrat ikut menyetujui Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 soal Pilkada 2024.
Melihat Peluang Gibran Ganjal Anies
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai, peluang Gibran maju di Pilkada DKI Jakarta memang terbuka. Namun, belum tentu bisa mengganjal Anies Baswedan. Sebab ada beberapa faktor.
"Tapi kalau dimaksudkan mengganjal mengalahkan Anies di (Pilkada) 2024, saya kira tergantung variabel yang akan dilihat nanti di 2024," kata Qodari kepada wartawan, Kamis (11/2).
Pertama, peluang petahana terpilih kembali. Anies bisa melanjutkan ke periode kedua jika pada periode saat ini dianggap masyarakat berhasil. Peluang penantang memenangkan kontestasi akan lebih kecil.
Kecuali ada faktor lain seperti kalahnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2017 yang meski tingkat kepuasan masyarakat tinggi tetapi kalah karena isu agama.
"Siapapun dia tergantung dari tingkat kepuasan tadi kalau tingkat kepuasan tinggi, maka peluang bagi penantang kecil karena masyarakat akan menggunakan logika atau mekanisme berpikir reward and punishment," kata Qodari.
Faktor berikutnya juga dipengaruhi latar belakang penantang. Apakah meyakinkan atau dianggap memiliki kemampuan sebagai kepala daerah di ibu kota.
Daripada Gibran, Qodari menilai, ada beberapa tokoh yang lebih potensial. Yaitu Mensos Tri Rismaharini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Apalagi jika Pilkada itu digelar pada 2022.
"Kalau bicara latar belakang ini sesungguhnya tidak harus Gibran ya," jelas Qodari.
Perludem Bicara Kepentingan Parpol dan Pemerintah
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai tidak dilanjutkan pembahasan RUU Pemilu oleh Komisi II DPR RI karena ada beberapa kepentingan.
Pertama, ada kepentingan partai mempertahankan ambang batas parlemen agar tidak naik dan tidak diberlakukan ambang batas di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Serta kepentingan agar besaran dapil dan alokasi kursi tidak diperkecil.
"Itu merupakan aspirasi atau refleksi dari kepentingan partai-partai menengah kecil," kata Titi dalam diskusi daring, Kamis (11/2).
Kedua, ada kepentingan partai-partai yang tidak menginginkan perubahan ambang batas pencalonan presiden.
Ketiga, pemerintah juga memiliki kepentingan agar jadwal Pilkada tidak diubah dan tetap digelar serentak pada 2024.
Sehingga, keputusan yang diambil untuk pembahasan tidak dilanjutkan merupakan kompromi dari ketiga kepentingan tersebut.
"Jadi ini kemudian kepentingan yang saling bertemu dan komprominya adalah tidak dilakukan revisi terhadap UU Pemilu," kata Titi.
Namun, tidak dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu membawa konsekuensi kompleksitas dan masalah teknis yang dihadapi dalam pemilu. Dikhawatirkan juga masalah di Pilpres dan Pileg serentak 2019 akan terulang.
(mdk/ray)