Wacana KPUD jadi Ad Hoc, DPR dan pemerintah diminta tak rusak pemilu
Wacana KPUD jadi Ad Hoc, DPR dan pemerintah diminta tak rusak pemilu. Pemerintah dan DPR tengah membahas Revisi UU Pemilu di Komisi II DPR. UU ini rencananya akan dipakai sebagai acuan gelaran Pemilu serentak 2019. Salah satu isu krusial yang menjadi sorotan banyak pihak adanya wacana mengubah KPUD jadi Ad Hoc.
Pemerintah dan DPR tengah membahas Revisi UU Pemilu di Komisi II DPR. UU ini rencananya akan dipakai sebagai acuan gelaran Pemilu serentak 2019. Salah satu isu krusial yang menjadi sorotan banyak pihak adanya wacana mengubah KPU daerah menjadi lembaga Ad Hoc atau sementara.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto, merubah KPU Kabupaten/Kota menjadi lembaga sementara merupakan usulan yang keliru. Menurut dia, rancangan tersebut membawa kemunduran, sebab birokrasi dalam pemilu sudah sistematis. Dia menilai, yang harus dilakukan bukanlah merombak birokrasi tapi memperbaiki dan memperkuat fungsi dari lembaga penyelenggara pemilu itu sendiri.
"Sekarang yang terpenting memunculkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu, bukan merombak birokrasi," ujarnya dalam diskusi yang diadakan di gedung Bawaslu Jakarta, (8/5).
Sunanto menambahkan, membuat KPU Kabupaten/Kota menjadi lembaga sementara hanya akan menghambat jalannya pemilu. Ad Hoc hanya akan mempersempit kewenangan dari KPU di tingkat Kabupaten/Kota, bahkan KPU di tingkat tersebut tidak akan dapat mengatur keuangannya sendiri. Padahal fungsi KPU Kabupaten/Kota menurutnya sangatlah penting terutama dalam proses pemutakhiran data pemilih.
"Kita harus menolak Ad Hoc-isasi, lembaga yang sifatnya Ad Hoc tidak memiliki kewenangan apapun, ini kan dapat mengganggu jalannya pemilu. Ini lah yang harus kita kritisi, kami tidak anti pansus, kami hanya ingin pemilu tidak diacak-acak," tutur dia.
Ketua KoDe inisiatif, Veri Junaidi bahkan menilai, tidak ada satu desain pun yang komperhensif terkait dengan Ad Hoc KPU Kabupaten/Kota. Dia menyampaikan, ada isu yang kontraproduktif antara satu isu dengan isu yang lainnya.
Veri mencontohkan, muncul isu soal KPU akan dibuat menjadi lembaga Ad hoc, lalu ada pula isu yang mengatakan bahwa jumlah penyelenggara pemilu akan ditambah.
"Desain seperti apa yang mau dibangun oleh pemerintah? Desainnya tidak terlihat. Ada kecenderungan DPR dan pemerintah mau mengobrak-abrik tatanan sistem penyelenggaraan pemilu, kecenderungan malah merusak. Ini tidak kompatibel dengan pemilu serentak yang hendak dirancang, biarkan saja KPU-nya permanen," ungkap Veri.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memandang, RUU pemilu pada tahun ini sangat tertutup. Bahkan, ia mengatakan bahwa sangat sulit mengakses informasi terkait perkembangan RUU yang sedang dibuat oleh Pansus RUU Pemilu dari Komisi II DPR.
"Dari tahun 2005-2014 saya katakan pembahasan RUU pemilu kali ini adalah pembahasan paling tertutup, bahkan untuk mendapatkan informasi perkembangan RUU tersebut sangat sulit," tegasnya.
Direktur Perludem itu menyampaikan bahwa keterbukaan informasi sangat diperlukan, bahkan semestinya Pansus melibatkan peran publik dalam penyelesaian RUU pemilu. Namun menurutnya, yang terjadi saat ini malah sebaliknya, suara dari publik seolah-olah dianggap sebagai suatu kegaduhan.
"Kalau RUU ini mendapat respons dari publik jangan dianggap sebagai noise. Kalau ada perbedaan pendapat justru akan menguji argumen dari si pembuat RUU," kata dia.
Senada dengan Sunanto, Titi Anggraini juga mengatakan, beban yang ditangung oleh KPU Kabupaten/Kota sangat berat. Sehingga yang seharusnya dilakukan adalah melakukan penguatan KPU di tingkat tersebut bukan malah melemahkannya dengan menjadikannya lembaga yang bersifat sementara.
"Beban penyelenggaraan pemilu seperti piramida, semakin ke bawah semakin berat. Sehingga yang harus diperkuat dalam pilkada serentak adalah KPU kabupaten/kota. Uniknya, ketika bobot itu seperti piramida, berat di bawah, kok malah yang di bawah yang ingin disederhanakan?" ujarnya.
Sebelumnya, Ketua KPUD DKI Jakarta, Sumarno juga mengungkapkan ketidak setujuannya terkait wacana DPR yang ingin menjadikan KPU daerah bersifat Ad Hoc atau tidak permanen dalam RUU Pemilu yang tengah dibahas. Menurutnya, wacana tersebut hanya bersifat coba-coba dan mempunyai banyak risiko.
"Mengutip iklan minyak gosok anak, jangan coba-coba, jadi harus pilihan yang tepat begitu juga dengan eksperimen Presiden. Kalau mau meng-ad hoc-kan KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota itu risikonya akan sangat besar sekali," kata Sumarno, di kantor KPUD DKI Jakarta, Jumat (5/5).