Di era Jokowi, Menkominfo baru diharap tegas terhadap teroris
Pada pemerintahan Presiden SBY, Menkominfo tidak tegas untuk tutup situs dan media sosial kalangan teroris.
Sampai sekarang ini, yang muncul hanyalah rumor-rumor para kandidat pengganti Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring saja, namun secara pasti, belum ada informasi resmi siapa yang akan menduduki posisi tersebut.
Walaupun belum ada konfirmasi resminya, akan tetapi Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengharapkan Menkominfo yang baru di era Presiden Joko Widodo dapat berani dan tegas untuk memblokir dan menutup berbagai situs maupun media sosial kelompok teroris.
"IPW menilai ancaman terorisme di era pemerintahan Presiden Jokowi masih cukup tinggi. Pada pemerintahan Presiden SBY, Menkominfo tidak bersikap tegas untuk menutup tuntas berbagai situs dan media sosial kalangan teroris, akibatnya para teroris bisa dengan bebas menyosialisasikan misi, ajaran dan gerakannya," kata Neta, seperti dikutip dari Antara (24/10).
Menurut IPW para teroris bisa dengan bebas membangkitkan emosional kalangan muda untuk kemudian mengajak mereka bergabung melalui situs dan jejaring sosial. Situs teroris juga dinilai bebas memaparkan cara-cara membuat bom atau bahan peledak lainnya.
Kondisi tersebut menurut dia, membuat peta daerah rawan teroris dan sentra pembuatan senjata rakitan juga kian melebar.
"Ironisnya, ibukota Jakarta menduduki posisi nomor dua sebagai daerah rawan teroris saat ini. Urutan pertama Sulteng, kemudian Jakarta, Aceh, Sumut, Lampung, Klaten, Solo, Jatim, Bima, Maluku, dan Papua. Sentra pembuatan senjata rakitan pun melebar ke Lampung, Cipacing (Jabar) dan Klaten (Jateng)," ujar dia.
Neta memandang Presiden Jokowi perlu menekan perkembangan potensi terorisme ini. Caranya antara lain, Menkominfo kabinet Jokowi harus mau dan mampu memblokir semua situs dan media sosial kalangan teroris.
Di sisi lain instansi pemerintah, seperti Imigrasi, Bea Cukai dan lainnya harus terus menerus berkordinasi dengan BNPT, Polri, dan institusi intelijen.
Antisipasi maksimal ini menurutnya, diperlukan mengingat ada ratusan pemuda Indonesia yang saat ini bergabung dengan ISIS di jazirah Arab dan setiap saat mereka bisa pulang ke Indonesia untuk menebar sikap radikalnya.