Jangan gunakan Facebook dan Twitter sebagai ajang eksis saja
Apabila cermat, jejaring sosial juga dapat digunakan untuk lebih membawa manfaat lain.
Untuk kawasan Indonesia saja, jejaring sosial yang paling banyak digunakan dan terkenal adalah Facebook dan Twitter. Kedua jejaring sosial ini memiliki pengguna mulai dari anak-anak sampai dengan orang dewasa.
Oleh karenanya, dikarenakan popularitas jejaring sosial yang semakin meninggi, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA-IPB) Arif Satria berpendapat bahwa jejaring sosial, tidak hanya Facebook dan Twitter saja, harus dapat dimanfaatkan lebih luas lagi, contohnya sebagai 'notifikasi' ketika terjadi bencana alam.
Kenapa harus melalui jejaring sosial? Hal ini disebabkan karena banyaknya masyarakat Indonesia saat ini yang mengakses account jejaring sosial mereka dengan menggunakan perangkat mobile yang selalu mereka bawa.
Selain itu, pesan yang beredar di jejaring sosial lebih efektif dan cepat menyebar dibandingkan melalui media lainnya. Maka, ketika terjadi suatu bencana, maka dengan menuliskan informasi terkait bencana tersebut, orang-orang di sekitar tempat tersebut atau lainnya dapat secara langsung mengetahui.
Tidak hanya dapat dijadikan sebagai penyebar informasi terkait bencana, jejaring sosial juga dapat digunakan untuk mengedukasi masyarakat, mensosialisasikan program penghijauan dan mengembangkan isu-isu global, pembangunan dan lainnya.
"Indonesia itu peringkat ke empat di dunia pengguna facebook, dan peringkat ke lima pengguna twitter. Artinya masyarakat sudah melek media, ini kesempatan bagaimana mengedukasi masyarakat lewat sosial media yang ada," kata Arif dalam jumpa pers simposium komunikasi pembangunan oleh Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (Forkapi) di kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, seperti dikutip dari Antara, Rabu (30/10).
Arif juga berpendapat, tingginya jumlah pengguna sosial media menjadi peluang bagi pemerintah untuk masuk ke dalamnya dengan menyebarkan informasi dan mensosialisasikan program pemerintah.
"Pemerintah kita sudah melihat peluang ini, seperti sekarang Presiden sudah punya Twitter. Tapi, penggunaannya masih belum optimal untuk edukasi masyarakat, lebih kepada politik dan personalitas presiden," kata Arif.
Pemerintah Indonesia saat ini sudah mulai menggunakan media jejaring sosial untuk menyebarkan informasi namun diperlukan inovasi dan kreativitas bagaimana mengolah informasi dan sosialisasi dengan mengikuti mediannya.
Arif mencontohkan beberapa negara seperti Jepang dan Eropa sudah cukup maju dalam sistem peringatan dini bencana. Hal ini sangat membantu dalam mencegah atau meminimalisir korban bencana.
Dikatakannya, Indonesia melalui BMKG sudah memiliki sistem peringatan dini tersebut, namun implemetasi di masyarakat belum terakses secara luas, sehingga tidak semua mendapatkan informasi penting tersebut.
"Seperti di Jepang, begitu terdeteksi ada topan, semua stasiun televisi menyiarkan dan kapan topan itu terjadi dan sampai itu bisa diprediksi sehingga masyarakat bisa siaga dan waspada," katanya.
Tidak hanya untuk bencana, penggunaan teknologi informasi juga bisa dilakukan dalam bidang pertanian dan perikanan. Misalnya informasi musim tanam, bibit unggul, atau area penangkapan serta musim penangkapan ikan yang baik dan aman dapat disebar melalui sosial media.
"Karena saat ini masyarakat sudah memiliki gadget, mereka bisa mengakses internet, artinya masyarakat sudah melek. Ini yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengedukasi masyarakat," ujarnya.
Fenomena tingginya jumlah pengguna sosial media facebook dan twitter di Indonesia juga terjadi di Filipina dan Malaysia walau jumlahnya tidak sebanyak di tanah air.
Prof Adnan Husein dari Universitas Sain Malaysia, menyebutkan peran sosial media di masyarakat sangat berpengaruh besar, terutama dalam menyebarkan informasi.
"Saya tidak punya data pasti angkanya apakah sama seperti di Indonesia. Tapi memang penggunaan sosial media di masyarakat Malaysia cukup besar, media ini digunakan untuk hiburan dan sosialisasi," katanya.
Menurut Prof Adnan, keberadaan sosial media tidak memiliki unsur positif yang banyak, lebih banyak unsur negatif. Hal ini dilihat dari banyaknya posting-posting yang dilakukan pengguna sosial media dalam memprotes pemerintahan maupun perguruan tinggi.
Berbeda dengan Prod Adnan, Profesor Ameritus dari Universitas Tebuka Filipina, Felix Librero, PhD, menyebutkan, pengguna sosial media menjadi kekuatan dalam menggerakkan masyarakat.
"Seperti yang terjadi di Makarti, Filipina, di mana LSM menggerakkan masyarakat melalui sosial media dalam mengawasi soal anggaran di pemerintah tersebut," ujarnya.
Ia menambahkan, sosial media bisa menjadi cara baru dalam menggerakkan masyarakat dalam mengawasi pembangunan dan jalannya pemerintahan.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (Forkapi) Aida Vitayala mengatakan, melalui simposium ini pihaknya ingin mencari strategis serta solusi dalam persoalan komunikasi pembangunan.
"Dengan simposium ini diharapkan menghasilkan sebuah strategi dan solusi bagaimana kelompok informasi sosial ini dan sosial media ini dapat dikembangkan ke arah edukasi sehingga mendorong komunikasi pembangunan masyarakat dalam segala bidang, terutama pertanian," ujarnya.