Sudah layak pakai 4G, sayang Indonesia masih jadi penonton
Pertanyaannya, Indonesia mau jadi penonton dari teknologi 4G atau ikut menikmati.
Smartphone dan perangkat mobile sekarang ini menjadi seperti sebuah kebutuhan yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sayangnya, ketika banyak negara yang sudah lama menerapkan dan menggunakan teknologi 4G, Indonesia hanya berdiri sebagai penonton saja.
Memang, sampai sekarang, beberapa perusahaan telekomunikasi sudah mengujicobakan teknologi 4G dan ada pula yang siap meluncurkannya di awal tahun 2015 mendatang.
"Pasar Indonesia sudah siap untuk 4G berbasis Frequency Division Duplexing Long Term Evolution (FDD-LTE) atau Time Division Duplex-Long Term Evolution (TDD LTE). Jadi dalam implementasinya semuanya harus berperan, jangan jadi penonton saja," kata Principal Analyst Ovum Nicole McCormick, seperti dikutip dari Antara (17/10).
Menurut Nicole, jika pengguna sudah siap tentu operator lebih siap, apalagi ekosistem pendukung seperti perangkat dan infrastruktur juga sudah tersebar.
"Sekarang pertanyaannya, Indonesia mau jadi penonton dari teknologi 4G atau ikut menikmati. Biasanya, teknologi ini dimulai dari perkotaan karena kemampuan dan kebutuhan masyarakatnya dibandingkan di pedesaan," katanya.
Ia pun menyarankan, jika memang ingin bermain di perkotaan maka frekuensi yang bisa digunakan dari spektrum yang besar mulai dari 1.800 Mhz ke atas.
Dalam catatan, Indonesia sudah menggelar TDD LTE di 2,3 GHz melalui Internux. Namun, jika berbicara skala ekonomi, tentunya FDD LTE di 1.800 MHz harus dibuka.
Data dari Global mobile Suppliers Association (GSA), pada akhir 2013 diperkirakan ada 244 layanan berbasis LTE yang komersial di 87 negara. Hampir 44 persen komersial LTE berjalan di frekuensi 1.800 MHz, sementara frekuensi lainnya yang populer untuk LTE adalah 2,6 GHz, 800 MHz, band 4 (AWS) dan 700 MHz.
Pada tahun 2014, pemerintah sudah seharusnya membuka layanan FDD LTE di 1.800 MHz, jika konsisten dalam menerapkan teknologi netral layaknya di 800 MHz, 2,3 GHz dan 900 MHz.
Sayangnya, pemerintah lebih memprioritaskan penataan frekuensi 1.800 Mhz ketimbang menjalankan teknologi netral. Padahal, sekarang penggunaan agregasi kanal hal layak dijalankan untuk mengakali alokasi frekuensi yang tak berdampingan.
Sementara itu, General Manager Solution Consulting Huawei Tech Investment, Mohamad Rosidi menambahkan parameter standar kelayakan sebuah negara untuk mengadopsi koneksi internet cepat dengan teknologi 4G LTE adalah ketika suatu negara telah mengadopsi smartphone sampai penetrasi 30 persen.
"Saat pasar telah memakai smartphone sekitar 10 persen sampai dengan 30 persen, maka asumsinya masyarakat telah sadar kebutuhan layanan data cepat. Indonesia sekarang sudah punya 27 persen pengguna smartphone di pasar ponsel, maka sudah sangat layak untuk gelar LTE," jelasnya.