Unibraw Malang kembangkan game kinect bagi penderita autis
Game itu dikembangkan oleh 3 orang mahasiswa dari Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer,Universitas Brawijaya.
Memang terapi untuk para penderita attention deficit hyperactive disorder atau autis dapat dikatakan mahal dan harus dilakukan secara berulang-ulang. Namun, dengan alat ini, biaya tersebut dapat dipangkas.
3 orang mahasiswa Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, berhasil menciptakan satu permainan yang juga dapat digunakan sebagai sarana terapi bagi para penderita autis.
Permainan yang diberi nama Application Game Therapy Attention Deficit Hyperactive Disorder" (AGTA) ini menggunakan alat sensor gerak sejenis kinect seperti yang digunakan di perangkat game seperti Xbox One atau Wii U.
Terdapat 3 pilihan game yang disajikan yaitu "Catch the Jellyfish," "Falling Party" dan "Go Fishing." Pada permainan "Catch the Jellyfish", pemain harus menangkap ubur-ubur yang lewat dengan menggunakan tangan kanannya saja.
Sedangkan permainan kedua "Falling Party" mengharuskan pemain menggerakkan kedua tangan kiri dan kanan untuk menangkap berbagai ikan yang jatuh dari arah atas. Sementara permainan ketiga, "Go Fishing", pemain harus memilih satu ikan yang warnanya sesuai dengan perintah yang diberikan sistem.
Memang, para pengembang game terapi ini mengatakan bahwa dibutuhkan dana sekitar Rp 1,5 juta untuk pembelian alatnya, namun dana tersebut hanya dikeluarkan sekali dan untuk jangka panjang.
"Untuk terapi obat biayanya sangat mahal, yakni yang berbentuk tablet seharga Rp65 ribu/butir, terapi biomedis dan terapi kognitif yang biayanya mencapai Rp90 ribu untuk satu kali pertemuan," jelas Ika Kusumaning Putri, salah satu pengembang AGTA di Malang, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (11/01).
Lebih lanjut Ika mengatakan AGTA dirancang khusus bagi anak penderita autis. Autis merupakan gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik yang kebanyakan diderita oleh anak-anak.
Gejala yang sering ditunjukkan oleh penderita ADHD itu antara lain kesulitan untuk memusatkan perhatian dan kebiasaan hiperaktif (perilaku yang tidak bisa diam). "Menurut terapis yang kami temui saat riset pembuatan game AGTA ini, biasanya penderita autis ini tidak dapat duduk diam dan fokus pada suatu hal meski hanya dalam waktu 1 menit," kata Ika.
Selain dapat melatih konsentrasi dan fokus anak, AGTA juga dapat melatih perkembangan kognitif mereka.
Menyinggung rencana ke depan terkait temuannya itu, Ika mengatakan permainan ini akan dikembangkan untuk tujuan sosial, terutama bagi sekolah-sekolah anak berkebutuhan khusus atau perorangan yang memang membutuhkan.
Saat ini, lanjutnya, permainan AGTA sudah mulai diterapkan di sekolah berkebutuhan khusus yang ada di Kota Malang. "Kami sudah pernah menerapkan di salah satu sekolah berkebutuhan khusus zero five dan responnya sangat bagus," kata mahasiswa lainnya, Hanas.
AGTA yang diusung oleh tiga mahasiswa yang tergabung dalam Raion's Head itu berhasil meraih medali emas dalam kategori permainan di ajang kompetisi Gemastik 6.
Pada kompetisi yang diselenggarakan di Bandung itu, AGTA mampu menyisihkan sembilan karya game finalis lainnya dari berbagai universitas di Indonesia.