Sosok Anak Pantai Jatuh Cinta pada AL Malah jadi Perwira AD, Tak Pernah Disangka Nasibnya Kemudian jadi Panglima TNI
Berikut anak pantai yang jatuh cinta pada Angkatan Laut malah menjadi perwira Angkatan Darat.
Berikut anak pantai yang jatuh cinta pada Angkatan Laut malah menjadi perwira Angkatan Darat.
Sosok Anak Pantai Jatuh Cinta pada AL Malah jadi Perwira AD, Tak Pernah Disangka Nasibnya Kemudian jadi Panglima TNI
Apalagi melihat kekuatan TNI yang semakin hari kian kuat. Hal itu mungkin juga dirasakan oleh sosok anak pantai ini. Ia mengaku jatuh cinta pada Angkatan Laut (AL).
Namun, Ia justru menjadi seorang perwira Angkatan Darat (AD). Bahkan siapa sangka, nasibnya begitu bagus. Ia ditunjuk sebagai seorang Panglima TNI kemudian hari.
Melansir dari berbagai sumber, Kamis (2/11), simak ulasan informasinya berikut ini.
Terobsesi Pantai Ingin Jadi Marinir
Tak terbesit dalam benak pemuda bernama Feisal Tanjung ini untuk menjadi seorang prajurit TNI Angkatan Darat. Padahal saat masih remaja, Ia justru memiliki impian satu-satunya yaitu masuk TNI Angkatan Laut.
Hal ini lantaran, Ia begitu akrab dengan pantai, laut dan ombak saat remaja. Kebiasaanya melihat pemandangan prajurit TNI Angkatan Laut yang sedang bertugas di tempat kelahirannya, alhasil muncul hasrat dalam diri Feisal untuk menjadi prajurit AL.
Saat duduk di kelas tiga SMP, Feisal diam-diam pernah mendaftarkan diri menjadi aspiran kadet AAL. Pada saat itu AAL masih menerima tamatan SMP untuk menjadi aspiran (calon) kadet.
Menurut prosedur yang berlaku, seseorang yang berhasil diangkat menjadi aspiran kadet, maka dua tahun berikutnya dapat menjadi kadet.
Malang tak dapat dinyana, impiannya itu kandas. Dia tidak diterima lantaran tak memenuni syarat usia minimal yang ditetapkan yakni 16 tahun. Kala itu Feisal baru berusia 15 saat mendaftar itu.
Meski gagal, ia terus bekerja keras dan mencoba lagi di beberapa tahun setelahnya saat usianya cukup. Setelah tamat SMA, Feisal kembali mengisi formulir pendaftaran masuk AAL.
Namun saat itu dirinya juga mendaftar di Akademi Militer Nasional atau AMN (kini Akademi Militer/Akmil).
Alih-alih mendapat panggilan dari Angkatan Laut, surat panggilan dari AMN malah datang terlebih dahulu. Akhirnya Feisal akhirnya mengikuti seleksi.
Feisal lolos di tingkat kodam hingga akhirnya resmi menjadi calon prajurit taruna (capratar) pada 1958. Bocah yang tumbuh di keluarga Muhammadiyah ini pun akhirnya sukses menempuh pendidikan militer darat dan lulus pada 1961.
Siapa sangka, karier Feisal di Angkatan Darat ternyata cukup mentereng. Presiden Soeharto sempat menunjuknya sebagai Panglima ABRI sehingga menerima bintang 4 di pundak atau berpangkat Jenderal.
Mengingat, prajurit dari kecabangan infanteri ini banyak dilatih di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sempat berubah nama menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) dan saat ini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Bukan hanya itu, Feisal juga berkiprah di Pasukan Cakra alias Kostrad. Tidak heran apabila deretan jabatan mentereng sempat melekat di pundak prajurit tempur ini, sebelum akhirnya diangkat menjadi Panglima ABRI.
Melalui Baret Hijau, Feisal turut serta dala operasi penumpasan G30S/PKI hingga akhirnya dipercaya sebagai Kastaf dan Komandan Brigif Lintas Udara 17 Kostrad.
Kariernya pun semakin meroket, hingga Feisal ditunjuk menduduki jabatan Asisten Operasi Kepala Staf Kostrad, Kepala Staf Komando Tempur Lintas Udara Kostrad dan akhirnya Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad (Divisi Infanteri 1/Kostrad).
Feisal kemudian dipromosikan sebagi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri pada 1983-1985 dan Pangdam VI/Tanjungpura pada tahun 1985-1988. Setelahnya, Feisal dipercaya menduduki jabatan sebagai Dansekoad, kemudian Kasum ABRI.
Penulis buku "Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian" Salim Said mengatakan bahwa sebelum mengangkat Feisal, Presiden Soeharto sebenarnya membutuhkan kesaksian tentang calon panglima ABRI tersebut dari orang-orang yang kenal secara pribadi. Di antaranya Menko Azwar Anas dan Mayjen TNI Zaini Azhar Maulani.
Mereka diminta bersaksi melalui rekaman dengan menggunakan alat perekam yang dibawa oleh Kolonel Kivlan Zein dan Kolonel Ismed Yuzeri.
Rekaman tersebut lantas diperdengarkan kepada Soeharto.
"Saya tidak tahu siapa saja yang diminta kesaksiannya sebelum akhirnya Bapak Presiden berkeputusan melantik Feisal Tanjung sebagai pangab," tulis Said.
Keputusan Soeharto mengangkat Feisal menjadi Panglima ABRI rupanya memunculkan kontroversi. Sebab lazimnya, calon Pangab yaitu Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar, Kasad yang tengah menjabat saat itu.
Terlebih pada masa itu, Soeharto memang banyak mempromosikan 'jenderal santri'. Selain Feisal, masuk dalam lingkaran dekat Soeharto yakni R Hartono, yang berdarah Madura.
Mereka sering dijuluki ‘ABRI Hijau’. Setelah tak lagi menjadi pangab, Feisal dipercaya Soeharto sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan (menko polkam). Jenderal Baret Merah yang pernah memimpin Operasi Lembah X di pedalaman Papua itu meninggal dunia karena sakit pada 18 Februari 2013.