Tetangga Tidak Mau Bayar Utang, Begini Cara Menagihnya Menurut Islam
Utang diartikan sebagai pinjaman yang wajib dibayar kembali karena itu adalah hak orang lain
Dalam perspektif Islam, utang adalah hal diperbolehkan dan merupakan tanggung jawab yang harus dilunasi. Utang diartikan sebagai pinjaman yang wajib dibayar kembali karena itu adalah hak orang lain. Oleh karena itu, jika seseorang tidak membayar utang, itu sama dengan mengambil hak orang lain secara tidak sah.
Fenomena yang sering disaksikan saat ini adalah banyak orang yang berutang namun menunda-nunda untuk melunasinya. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketidakmampuan finansial atau alasan lainnya. Bahkan, situasi ini dapat terjadi di antara orang-orang terdekat, seperti tetangga.
- Benarkah Tunggakan Utang Pinjol Hangus Jika Melewati Batas 90 Hari? Begini Faktanya
- Cara Membayar Hutang Masa lalu Menurut Islam ke Orang yang Sudah Meninggal Dunia
- Cara Membayar Fidyah Ibu Melahirkan, Begini Perhitungannya
- Cara Membayar Fidyah untuk Ganti Puasa Ramadhan dengan Uang, Ketahui Hukum & Ketentuannya
Ada juga kasus di mana seseorang dengan sengaja tidak membayar utang dan merasa marah ketika ditagih. Namun, menurut syariat Islam, utang tetap merupakan kewajiban yang harus dilunasi. Pertanyaannya, jika kita berada dalam posisi sebagai pemberi utang, apakah kita wajib menagih utang tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk merujuk pada prinsip-prinsip yang ada dalam Islam mengenai utang. Harus dipahami menagih utang adalah bagian dari menjaga hak orang lain serta menjaga keadilan dalam masyarakat. Berikut ulasannya, Selasa (22/10).
Tidak membayar utang jelas bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang mewajibkan setiap orang untuk menyelesaikan utang mereka. Setiap utang, tanpa memandang jumlahnya, akan dihisab dan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Al-Qur'an telah menetapkan pedoman terkait cara berhutang dan membayar utang agar tidak terjadi kelalaian.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya" (QS. Al-Baqarah: 282).
Ayat tersebut menunjukkan Allah mendorong umat Muslim untuk membuat perjanjian dan melibatkan saksi dalam setiap transaksi utang-piutang. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak kedua belah pihak, baik pemberi utang maupun penerima utang. Selain itu, kelalaian dalam membayar utang dapat menjadi salah satu dosa yang dapat menyulitkandi dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, jika utang tidak kunjung dibayar, penting untuk mempertimbangkan apakah sebaiknya kita menagih utang tersebut atau tidak. Mengingat bahwa menagih utang juga harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan konflik.
Proses Penagihan Utang
Utang dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilunasi. Sebagai kreditur, tentu saja diperbolehkan untuk menagih utang, terutama jika sudah tiba saatnya sesuai dengan kesepakatan. Namun, dalam proses penagihan, harus tetap menjunjung tinggi etika dan tidak menggunakan cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti kekerasan atau mengenakan bunga.
Pemberi utang disarankan untuk menagih utang jika debitur lalai.Hal ini bisa memberatkan kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat. Utang yang belum dibayar dapat menambah dosa bagi yang berutang. Di sisi lain, Allah menganjurkan agar tidak menagih utang ketika debitur sedang menghadapi kesulitan. Ini berarti sebaiknya memberikan kesempatan bagi mereka untuk melunasi kewajiban saat keadaan mereka sudah membaik. Bahkan, jika seorang pemberi utang mau mengikhlaskan utangnya, itu akan lebih baik.
Artinya: "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui" (QS. al-Baqarah: 280).
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami etika dalam berutang dan menagih utang. Kita harus menjaga hubungan baik dan saling menghormati antara pemberi utang dan yang berutang. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan saling mendukung dalam kehidupan sosial kita.