10 Tahun Jokowi dan Warisan Utang Pemerintah
Per Agustus 2024, posisi utang Indonesia berada di angka Rp8.461,93 triliun, setara dengan 38,49 persen dari PDB.
Masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi berakhir 20 Oktober 2024 dan akan dilanjutkan Prabowo Subianto. Selama dua periode kepemimpinannya, yakni dari tahun 2014 hingga 2019 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan periode kedua dari 2019 hingga 2024 dengan Ma'ruf Amin, Jokowi menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.
Selama sepuluh tahun tersebut, pemerintah Indonesia berusaha untuk memajukan negara di tengah berbagai isu, termasuk kemiskinan ekstrem, pengangguran, dan utang negara.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi pemerintah selama masa jabatan Jokowi adalah peningkatan utang negara. Melansir dari berbagai sumber, terungkap bahwa utang Indonesia mengalami perkembangan signifikan dalam kurun waktu sepuluh tahun tersebut.
Kenaikan nominal utang cukup drastis terlihat sejak masuknya pandemi Covid-19, di mana utang Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi Rp638,48 triliun per tahun akibat dampak pandemi.
Belanja negara yang masif selama pemerintahan Jokowi sejalan dengan fokus pada pembangunan sektor riil dan infrastruktur yang menjadi prioritas utama pemerintah dalam mengejar ketertinggalan infrastruktur.
Menurut data dari Buku Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pada tahun 2015, utang Indonesia tercatat sebesar Rp3.165 triliun, setara dengan 27,46 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini merupakan peningkatan dari utang yang diwariskan oleh presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang sebesar Rp2.608 triliun.
Kenaikan utang tersebut terus berlanjut dengan nominal mencapai Rp4.779 triliun pada tahun 2019, dan melonjak menjadi Rp6.162 triliun pada tahun 2020 ketika pandemi melanda, mencerminkan kebutuhan mendesak untuk penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Pada tahun 2021, utang kembali meningkat menjadi Rp6.908,87 triliun, yang setara dengan 40,74 persen dari PDB. Meski ada penurunan persentase utang terhadap PDB pada tahun 2022, yang tercatat sebesar Rp7.333,99 triliun atau 38,59 persen, angka total utang tetap menunjukkan tren pertumbuhan.
Hingga tahun 2023, posisi utang Indonesia mencapai Rp8.144,69 triliun, dengan rincian bahwa Surat Berharga Negara (SBN) menyumbang sekitar 71,31 persen dari total utang. Sementara itu, per Agustus 2024, posisi utang Indonesia berada di angka Rp8.461,93 triliun, setara dengan 38,49 persen dari PDB.
Kendati demikian, utang bukan satu-satunya perhatian. Utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di pemerintahan Jokowi tercatat sebesar Rp959 triliun, di mana pada periode pertama (2014-2019) mencapai Rp125 triliun, dan periode kedua (2019-2024) sebesar Rp834 triliun. Ini menunjukkan pemerintah harus menangani beban utang yang cukup besar di berbagai sektor.
Pertumbuhan Ekonomi 10 Tahun Jokowi
Di samping meroketnya jumlah utang, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, perkembangan ekonomi Indonesia menjadi salah satu topik utama. Jokowi sempat menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen di kedua periode pemerintahannya, yaitu 2014–2019 dan 2019–2024, yang mana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun, target ambisius tersebut tak pernah terwujud, seolah hanya menjadi janji yang berlalu tanpa realisasi, rata-rata pertumbuhan hanya di angka 4,6 persen.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 pertumbuhan ekonomi tercatat 4,88 persen, yang melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan ekonomi mulai meningkat pada tahun 2016 dengan angka 5,03 persen, 2017 5,07 persen dan terus tumbuh hingga 5,17 persen pada tahun 2018, serta 5,02 persen di tahun 2019. Sayangnya, pada tahun 2020, akibat pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni -2,07 persen.
Setelah kontraksi tersebut, ekonomi Indonesia menunjukkan tanda pemulihan dengan pertumbuhan 3,7 persen pada tahun 2021 dan 5,31 persen pada tahun 2022. Namun, memasuki tahun 2023, ekonomi kembali melambat menjadi 5,05 persen. Per kuartal kedua tahun 2024, pertumbuhan ekonomi masih berada di angka 5,05 persen, mencerminkan bahwa selama sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, pertumbuhan ekonomi hanya stabil di sekitar angka 4 persenan.
Isu pengangguran dan kemiskinan juga menjadi perhatian utama selama pemerintahan Jokowi. Dia menetapkan target Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di dalam RPJMN berada di kisaran 3,6 hingga 4,3 persen. Pada Agustus 2014, jumlah pengangguran tercatat sebanyak 7,24 juta orang, yang meningkat menjadi 7,56 juta orang pada Agustus 2015. Namun, pada 2016, jumlah pengangguran menurun menjadi 7,3 juta orang. Pada tahun 2020, jumlah pengangguran meningkat drastis menjadi 9,77 juta orang akibat pandemi, sebelum akhirnya turun menjadi 7,2 juta orang pada Februari 2024.
Per Februari 2024 tercatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia tercatat melandai menjadi 4,82 persen. Persentase itu berkurang sekitar 0,63 persen, dari sebelumnya sebesar 5,45 persen pada Februari 2023.
Dalam hal kemiskinan, RPJMN 2020-2024 disebutkan pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan di Indonesia sekitar 6-7 persen dan kemiskinan ekstrem mendekati 0 persen pada 2024. Menurut data BPS, kemiskinan ekstrem mengalami penurunan dari 7,90 persen pada tahun 2014 menjadi 6,50 persen pada tahun 2016. Namun, pada tahun 2020 dan 2021, angka kemiskinan ekstrem kembali meningkat. Meskipun demikian, pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0,83 persen pada Maret 2024.
Menariknya, menjelang berakhirnya masa jabatannya, Indonesia mengalami tren deflasi selama lima bulan berturut-turut, mulai dari Mei hingga September 2024. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran karena mengingatkan pada kondisi serupa di tahun 1999, ketika Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai deflasi berkelanjutan merupakan sinyal adanya masalah dalam kondisi ekonomi. Menurutnya, tren deflasi ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak berjalan dengan baik.
Pada Mei 2024, tingkat deflasi tercatat sebesar 0,03 persen secara bulanan. Deflasi semakin dalam pada bulan Juni dengan 0,08 persen, dan terus meningkat hingga mencapai 0,18 persen di bulan Juli. Kondisi ini berlanjut pada bulan Agustus, ketika deflasi kembali berada di angka 0,03 persen.
"Tren deflasi ini merupakan sinyal bahwa kondisi ekonomi kita tidak baik-baik saja," ujar Esther kepada Merdeka.com.
Esther juga menegaskan tren deflasi seperti ini bukan pertama kali terjadi. Situasi serupa pernah dialami Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya, seperti pada 1999, 2008, dan 2020. Pada tahun 1999, deflasi berlangsung dari Maret hingga September. Sementara itu, di tahun 2008, deflasi terjadi selama dua bulan, dan di tahun 2020 berlangsung selama tiga bulan berturut-turut. Setiap periode ini menunjukkan bahwa deflasi sering kali terkait dengan krisis ekonomi.
Esther menambahkan deflasi kali ini berkaitan dengan rendahnya inflasi inti. Meskipun beberapa kelompok pengeluaran masih berada di atas inflasi umum, kenaikan inflasi pada sektor transportasi turut memperburuk daya beli masyarakat. Kondisi ini, menurutnya, turut mendorong penurunan jumlah kelas menengah.
"Penurunan kelas menengah bukan hal yang mengejutkan dalam situasi seperti ini," tegas Esther.
Konsumsi dan Kelas Menengah Menurun
Analisis terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) turut mengonfirmasi tren tersebut dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III-2024.
Laporan tersebut mencatat pada tahun 2023, konsumsi rumah tangga di Indonesia didominasi oleh kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah. Kontribusi dari kedua kelompok ini mencapai 82,3 persen dari total konsumsi rumah tangga, dengan calon kelas menengah menyumbang 45,5 persen dan kelas menengah sebesar 36,8 persen.
Meskipun kontribusi konsumsi dari kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah meningkat dibandingkan tahun 2014, terjadi tren berbeda dalam lima tahun terakhir. Porsi konsumsi calon kelas menengah meningkat dari 42,4 persen pada tahun 2018, tetapi konsumsi dari kelas menengah justru mengalami penurunan signifikan dari 41,9 persen di periode yang sama. Penurunan ini menandakan daya beli kelas menengah semakin melemah.
"Pada tahun 2023, total konsumsi dari calon kelas menengah dan kelas menengah mencapai 82,3 persen dari total konsumsi rumah tangga, dengan masing-masing kelompok menyumbang 45,5 persen dan 36,8 persen," tulis laporan LPEM FEB UI, dikutip pada Kamis, 15 Agustus 2024.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa pada tahun 2023, porsi pengeluaran kelas menengah untuk makanan meningkat menjadi 41,3 persen, sementara pada kelompok calon kelas menengah sedikit menurun menjadi 55,7 persen.
"Hukum Engel menyatakan ketika pendapatan menurun, proporsi pengeluaran untuk makanan cenderung meningkat," jelas analis tersebut.
Lebih lanjut, laporan ini menjelaskan peningkatan pengeluaran untuk makanan mencerminkan pengurangan konsumsi pada sektor nonmakanan, seperti barang tahan lama, kesehatan, pendidikan, dan hiburan. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, mengalami tekanan yang signifikan.
Secara keseluruhan, selama sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, banyak tantangan yang dihadapi, terutama terkait dengan utang, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meskipun pandemi Covid-19 memberikan dampak yang signifikan. Masa jabatan Jokowi diakhiri dengan harapan untuk membangun fondasi yang lebih baik bagi generasi mendatang.