5 Hambatan ini bikin proyek ambisius Jokowi tak tercapai
Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan mengaku meski megaproyek 35.000 MW tak bisa tercapai pada 2019, namun, pemerintah tetap akan menggenjot semampunya proyek tersebut. Paling tercapai hanya 24.000 MW dan selesai semua pada 2020.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, memastikan bahwa pembangunan proyek kelistrikan 35.000 megawatt (MW) mengalami kemunduran waktu. Awalnya, proyek prestisius itu ditargetkan akan rampung pada 2019 mendatang.
"Ya kita lihat nanti perkembangannya dari pameran ini (proyek 35.000 MW). Kita harap 2019 ada capaian, mungkin tidak maksimum tidak sampai 35.000 MW," ujar JK di JCC, Jakarta, Rabu (28/9).
-
Bagaimana PLN dan ACWA Power akan membangun proyek ini? Kesepakatan ketiga perusahaan ini akan berlangsung pada business matching di flagship event KTT ASEAN ke-43 yaitu ASEAN Indo Pacific Forum (AIPF) yang berlangsung pada 5 - 6 September 2023. Kerja sama ini juga menjadi bukti hubungan bilateral yang kuat antara Indonesia dan Arab Saudi.
-
Mengapa PLN, ACWA Power, dan Pupuk Indonesia berkolaborasi membangun proyek ini? Kerja sama ini juga menjadi bukti hubungan bilateral yang kuat antara Indonesia dan Arab Saudi.
-
Apa yang sedang dibangun oleh PLN untuk memfasilitasi penggunaan energi terbarukan di Indonesia? PLN sendiri saat ini sedang membangun green enabling supergrid yang dilengkapi dengan smartgrid dan flexible generations. “Karena adanya ketidaksesuaian antara lokasi energi terbarukan yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, serta jauh dari pusat demand yang berada di Jawa, maka kita rancang skenario Green Enabling Supergrid. Sehingga, potensi EBT yang tadinya tidak bisa kita manfaatkan, ke depan menjadi termanfaatkan. Selain itu, tentunya akan mampu membangkitkan kawasan dengan memunculkan episentrum ekonomi baru," jelas Darmawan.
-
Apa yang akan dihasilkan dari proyek kolaborasi PLN, ACWA Power, dan Pupuk Indonesia? Proyek ini akan menghasilkan hidrogen yang berfungsi sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
-
Apa strategi PLN dalam mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Indonesia? Dalam kesempatan tersebut, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo memaparkan strategi perseroan dalam mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA/ Hydropower) di tanah air."Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan beragam sumber energi baru terbarukan. Khusus energi air, sebagai salah satu sumber energi terbesar, Air memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan hingga mencapai 95 GW, namun baru dimanfaatkan hanya sebesar 5,8 GW," papar Darmawan.
-
Bagaimana PLN mendukung transisi ke kendaraan listrik? PLN siap mendukung upaya pemerintah dalam mendorong ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Pengguna EV tidak perlu risau, sebab infrastruktur telah dibangun lebih merata. Apalagi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU), dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) telah siap, mudah dan nyaman digunakan.
Menurutnya, yang terpenting pasokan listrik dalam negeri terpenuhi sehingga tidak ada lagi daerah yang tak teraliri listrik.
"Targetnya (proyek 35.000 MW) mungkin molor sedikit. Yang penting tahun-tahun yang akan datang tidak ada lagi daerah-daerah yang tidak terlistriki," tandasnya.
JK mengatakan penggunaan listrik telah menjadi kebutuhan mendasar. Apalagi dalam era kompetisi sekarang ini maka harga listrik yang murah juga menjadi sebuah kewajiban.
Selain JK, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga pesimis proyek ini dapat selesai tepat waktu. Menurut Luhut, pembangunan proyek ini masih mengalami kendala seperti pembebasan lahan dan penentuan lokasi proyek.
Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku meski megaproyek 35.000 MW tak bisa tercapai pada 2019, namun, pemerintah tetap akan menggenjot semampunya proyek tersebut.
"Paling bisa kelar 2020. Kita tidak boleh bohong. Presiden harus memberi tahu. Kalau dapat data yang benar policy juga akan besar," ujar Menko Luhut.
Pria yang juga menjabat Plt Menteri ESDM ini menegaskan kapasitas sisa yang belum terbangun sebesar 10.000 MW akan dijadikan cadangan kapasitas listrik. Dia pun memperkirakan megaproyek ini akan bisa terealisasi di 2020.
"Listrik 35.000 MW memang tak bisa tercapai di 2019. Ada bisnis proses banyak belum baik. Paling tidak hanya 23.000 sampai 24.000 MW yang bisa tercapai. Tapi tidak apa-apa. Kita sudah bekerja keras," pungkasnya.
Tak hanya lokasi dan lahan, banyak juga hambatan-hambatan dalam pembangunan megaproyek 35.000 MW. Berikut 5 hambatan proyek ini seperti dirangkum merdeka.com:
Baca juga:
Ini cara Menteri Rini kejar target 20 juta turis datang ke Indonesia
Akhir perdagangan, Rupiah masih betah di bawah level Rp 13.000
Diresmikan Menteri Rini, Hotel Indonesia kini jadi induk hotel BUMN
Ini kata Kemenkeu soal dana Tax Amnesty dari tindakan kriminal
Bea Cukai catat produksi rokok terus turun dalam 10 tahun terakhir
Dana Tax Amnesty periode pertama lewati ekspektasi pengusaha
Saksi: Dana tebusan Tax Amnesty didapat dari tindakan kriminal
Pasokan gas ke pembangkit
PT PLN (Persero) dinilai tak konsisten dalam perjanjian lelang proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Khususnya dalam proyek pembangkit berbahan bakar gas atau PLTGU, di mana PLN mengubah syarat tender soal pasokan gas ke pembangkit.
Awalnya, PLN menyerahkan pasokan gas tersebut ke peserta tender. Namun, belakangan diubah dan diambil alih perusahaan pelat merah tersebut. Hal ini terjadi di proyek PLTGU Peaker Jawa-Bali 3 dan PLTGU Peaker Riau. Pembangkit yang masing-masing 500 MW dan 250 MW ini dijadwalkan pengumpulan dokumen lelangnya bulan depan.
"Jika memang PLN ingin mengambil alih tanggung jawab pasokan gas maka PLN harus mengambil tanggung jawab penuh dan konsisten dengan berbagai konsekuensinya," ujar Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (22/9).
Fahmi menegaskan PLN juga tebang pilih dalam pengambilalihan pasokan gas tersebut. Niat baik itu hanya berlaku untuk proyek-proyek besar seperti Jawa-bali 3 dan Riau serta PLTGU Jawa-1. Sedangkan untuk proyek PLTGU yang berkapasitas lebih kecil, seperti proyek PLTMG Scattered Riau 180 MW dan PLTMG Pontianak berkapasitas 100 MW, PLN seakan berlepas tangan. Tak heran jika hingga batas tender 26 Juli 2016 lalu, tak ada satu pun peserta tender yang memasukkan dokumen lelang.
Namun, tak masalah apabila PLN menjamin pasokan gas untuk PLTGU. Sebab, proyek ini bakal berjalan baik dengan pasokan gas yang menjadi tanggung jawab PLN. Kendati demikian, PLN melakukan empat kali penundaan pengumpulan dokumen pada kedua PLTGU tersebut.
Menurutnya, BUMN listrik ini seperti kebingungan dan terkesan tidak memiliki konsep serta pemahaman yang memadai terhadap program raksasa yang sedang dijalankannya. Akibatnya tender pembangkit jadi tertunda-tunda. Seharusnya, PLN mempunyai komitmen dan fokus pada percepatan pelaksanaan tender-tender pada proyek 35.000 MW dengan tidak menghambat proses tendernya dengan berbagai perubahan klausul yang aneh-aneh.
"Solusinya dengan independensi serta persiapan yang matang," jelasnya.
Apalagi, menurutnya, di dalam tender pembangkit ini, PLN harus membangun kemitraan dengan para pengembang independent power producer (IPP) berskala internasional. Skema proyek seperti apapun yang dipilih, PLN harus mampu memahami filosofi dan praktek dan etika bisnis yang berlaku dan diakui oleh para pelaku bisnis.
Proyek pembangkit Jawa-bali 3 dan Riau cukup menjadi incaran. Terlihat dari banyaknya perusahaan yang berminat mengikuti tender di dua pembangkit ini. Untuk PLTGU Peaker Jawa Bali - 3, misalnya, beberapa perusahaan yang berminat menjadi peserta tender di antaranya Medco Power, PT Rukun Raharja Tbk, PT Indonesia Power, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.
Adapun Toba Bara, Medco Power, Global Concord Holding Ltd. (GCL-Poly), dan PT Odira Energy Persada menyatakan ketertarikan mengikuti lelang PLTGU Peaker Riau. Bahkan, kabar yang beredar menyebutkan bahwa Pertamina turut ambil bagian dalam kedua tender tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan PLN harus bertanggung jawab jika terjadi kegagalan pasokan gas, bukan pengembang IPP. Isu ini juga terungkap dalam tender PLTGU Jawa-1, di mana jika terjadi kegagalan suplai dari PLN justru pengembang yang harus menanggung risiko dan ongkos kegagalan tersebut.
Masalah tender
PT PLN (Persero) mengaku bakal membangun sendiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 5 di Serang, Banten berkapasitas 2x1.000 Megawatt (MW). Sebab, lelang megaproyek tersebut dibatalkan lantaran banyak kejanggalan.
Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan, proyek tetap dikerjakan dengan skema pengembang swasta (independent power producer/IPP). Namun, lanjut dia, berbentuk kerja sama dengan PLN.
"Bentuknya, nanti kerja sama antara anak perusahaan PLN dengan swasta," ujar dia seperti dilansir Antara, Selasa (28/6).
Sementara itu, Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, pihaknya mempunyai cukup dana guna membangun proyek PLTU yang diperkirakan menelan biaya hingga Rp 40 triliun.
"Dana tidak masalah. Kami ada," kata Sofyan.
Menurut dia, berdasarkan revaluasi, aset PLN tercatat mencapai Rp 850 triliun. Dengan demikian, kata dia, PLN mempunyai kemampuan pinjaman tiga kali lipatnya atau sekitar Rp 2.000 triliun.
"Besar sekali kemampuan kami, sehingga tidak masalah kalau PLTU itu dibangun sendiri," kata Sofyan.
Lelang diikuti enam peserta, dengan tiga di antaranya memasukkan penawaran. Namun, hanya dua peserta yang dinyatakan lolos sebagai calon pemenang.
Kedua calon pemenang adalah Konsorsium China Oceanwide Holding, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), dan Shanghai Electric Power Corporation (SEPC). Sementara, peserta lain adalah PT Sumber Segara Primadaya (SSP), China Nuclear Engineering Group Corporation Ltd (CNEC), dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.
Pada saat penawaran harga, Konsorsium Oceanwide menawarkan harga listrik USD 4,5 sen per kilo Watt hour (kWh). Sedangkan, konsorsium SSP mengajukan USD 5,4 sen per kWh.
Terkendala lahan
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi mengatakan pembebasan lahan masih menjadi permasalahan utama dalam program kelistrikan 35.000 megawatt (MW). Hal ini merupakan pengaruh dari porsi pembangunan program tersebut yang lebih dominan oleh pihak swasta.
"80 persen dari program 35.000 MW dibangun oleh swasta. Swasta itu baru bisa membebaskan lahan kalau sudah financial close. Jadi masalah biaya sudah jelas baru dia membebaskan lahan," kata Rinaldy dalam diskusi Energi Kita yang digagas RRI, merdeka.com, IJTI dan IKN di Hall Dewan Pers, Jakarta, Minggu (28/8).
Permasalahan makin runyam karena masyarakat lebih berani untuk menaikkan harga tanah jika yang membeli adalah pihak swasta dibandingkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sehingga menurutnya, pemerintah sebaiknya bisa lebih memperbesar porsi PLN dalam pembangunan program ini.
"Kalau bisa pemerintah yang membebaskan tanah, dan bisa mendapatkan harga yang sesuai, maka ini bisa menyelesaikan sebagian besar permasalahan dari program 35.000 MW," imbuhnya.
Dengan demikian, Rinaldy mengimbau agar seluruh pihak terkait turut membantu dalam tercapainya target hingga tahun 2019. Sebab, program ini menyangkut banyak pihak, tidak hanya tanggung jawab Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Jika program ini tidak selesai di 2019, maka akan terjadi krisis listrik. Ini bukan tanggung jawab esdm saja. Tapi pertanahan, pembebasan tanah. Kalau itu bisa diselesaikan maka permasalahan bisa diselesaikan," jelasnya.
Ketidakpastian ekonomi global
Proyek kelistrikan 35.000 MW diharapkan selesai pada lima tahun ke depan masih terus berlanjut. Proyek ini dibagi atas dua wilayah yaitu PLN sebesar 10.000 MW dan swasta sebesar 25.000 MW.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan kendala utama dalam pengembangan program tersebut adalah perlambatan ekonomi global. Apalagi, pemerintah mengundang swasta untuk menggarap proyek ini.
"Mengundang investor dalam kondisi ekonomi global seperti sekarang sangat sulit. Apalagi, harga jual yang ditawarkan tak cukup menjanjikan," ujar Satyadalam diskusi Energi Kita yang digagas RRI, merdeka.com, IJTI dan IKN di Hall Dewan Pers, Jakarta, Minggu (7/8).
Menurutnya, kondisi saat ini membuat swasta tidak bisa segesit yang dibayangkan untuk berinvestasi. Permasalahan untuk berinvestasi di Indonesia dikatakan masih sulit terutama soal lahan. Terutama bagi investor asing dan swasta. Sampai saat ini pihak investor swasta sudah berkontribusi sebesar 8.361 MW dari 25.000 MW.
"Swasta itu 8.361 MW. PLN ya seperti Gorontalo, sudah disahkan oleh presiden sebanyak 100 MW, PLN sudah banyak membangun. Kita tidak punya data lengkapnya, kita hanya menyiapkan program," kata Dirjen Ketenagalistrikan ESDM Jarman.
Dalam hal mengatasi masalah mengenai lahan dan investor, Kementerian ESDM berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini dapat dijadikan evaluasi kementerian agar terselesaikannya program listrik 35.000 MW.
"Evaluasi ini memang harus dilakukan setiap tahun, agar masalah dapat teratasi. Ini membuktikan pemerintah terus konsisten," jelas Direktur Pembina Program Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Alihuddin Sitompul.
Ada mafia listrik
Perusahaan Listrik Negara (PLN) berjanji lebih selektif memilih investor untuk proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Ini agar keterlambatan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tak terulang kembali.
"Para investor yang memenangkan proyek tidak lantas menjalankan pekerjaannya, tetapi hanya sebagai penjual kontrak," ujar Direktur Utama PLN Sofyan Basir di DPR-RI, Jakarta, Kamis (28/1).
Sofyan melanjutkan, "Memang ada mafia dalam proyek pembangkit listrik. seperti proyek fast track program 1 dan 2 yang menyebabkan terlambat 20.000 megawatt."
Atas dasar itu, dia menginginkan ada pengetatan persyaratan calon investor pembangkit listrik. Selain bermodal dan pengalaman, investor juga diharuskan menyetor uang jaminan.
"Semata-mata untuk keseriusan mereka agar pengusaha tidak seperti dulu. Mereka jadi pemenang tapi tidak melaksanakan proyek."
Selain terlibat dalam proyek 35 ribu megawatt, PLN juga ditugaskan membangun transmisi listrik hingga sepanjang 46 ribu.
Jaringan yang sudah ada mencapai 18 ribu kilometer. Sehingga perusahaan setrum itu cukup menambah sekitar 27 ribu kilometer hingga 2019.
Sayang, penambahan tersebut berjalan lambat lantaran terkendala pembebasan lahan.
"Ini terjadi bukan karena direksi lama tidak ingin selesaikan, tapi karena sulitnya pembebasan lahan," kata Sofyan.
Menurutnya, keterlambatan proyek membuat Jawa, khususnya DKI Jakarta, bakal sering mengalami pemadaman listrik.
"Karena gardu-gardu induk kami sudah overload khususnya di DKI Jakarta," kata Sofyan. "Karena ini sangat serius mudah-mudahan peraturan presiden akan keluar untuk menanggulangi permasalahan ini selama periode 2 tahun ke depan."