Beragam komentar untuk lembaga BRG buatan Presiden Jokowi
Jokowi baru membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pertengahan Januari lalu.
Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo meminta Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk tidak hanya mengurusi soal teknis menanam pohon. Sebab, terjadinya kebakaran hutan dan lahan bukan soal menanam tapi bagaimana mencegah agar tidak terbakar.
"Mereka baru bekerja, mulai dari pemetaan. Mudah-mudahan mereka di samping merestorasi juga mencegah. Memang saya melihat arahnya banyak merestorasi, tapi pencegahan kebakaran itu banyak hal, tidak hanya merestorasi yang terbakar tapi yang baik, yang belum terbakar juga harus dicegah," ujar Herry menanggapi pelantikan sekretaris dan 4 Deputi Badan Restorasi Gambut (BRG) oleh Kepala BRG Nazir Foead di Jakarta, Selasa (23/2).
-
Apa yang Jokowi lakukan di Gudang Beras Bulog Pematang Kandis? Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau langsung Gudang Beras Bulog di Pematang Kandis,Kabupaten Merangin, Jambi. Kepala Negara mengaku, hal itu harus dilakukan demi memastikan ketersediaan beras jelang momentum hari raya Lebaran yang sisa sepekan lagi.
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Apa yang terjadi di Bukber Kabinet Jokowi? Bukber Kabinet Jokowi Tak Dihadiri Semua Menteri 01 & 03, Sri Mulyani: Sangat Terbatas
-
Kapan gugatan terhadap Presiden Jokowi dilayangkan? Dilansir di situs SIPP PTUN Jakarta, Senin (15/1/2024), gugatan itu telah teregister dengan nomor perkara 11/G/TF/2024/PTUN.JKT tertanggal 12 Januari 2024.
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Kenapa Jokowi meninjau Gudang Beras Bulog? Kepala Negara mengaku, hal itu harus dilakukan demi memastikan ketersediaan beras jelang momentum hari raya Lebaran yang sisa sepekan lagi.
Mengenai independensi BRG yang juga menerima pendanaan dari pihak asing, menurut Herry, hal tersebut dikembalikan kepada BRG dan pemerintah.
"Ketika kita menyumbang itu kan pasti ada interest, tapi tergantung pada seberapa kuat kita, kalau kita lemah akan jadi bulan-bulanan, tapi kalau kita kuat tidak (akan jadi bulan-bulanan) juga, kalau tidak ingin ini, tidak usah membantu, sesederhana itu," jelas dia.
Herry berharap, dalam perjalanannya nanti badan yang baru dibentuk oleh Presiden Jokowi pada pertengahan Januari 2016 ini bisa berjalan sesuai dengan misi yang ditetapkan, tidak menjadi lemah dan mempunyai arah yang jelas dan tidak tergantung pada pendonor.
Pengamat Lingkungan dan Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, Ricky Avenzora menilai, target BRG dalam merestorasi lahan gambut akan sulit tercapai.
"Untuk tahun ini, anggaran mereka belum tersedia dan sejauh ini masih harus berkutat dengan aturan-aturan main yang disodorkan oleh negara calon donor. Diperkirakan target 30 persen yang menjadi beban kinerja mereka di tahun ini tidak akan tercapai," paparnya.
Apapun kalkulasi yang dipakai, menurut Ricky, negara tidak akan sanggup untuk melakukan proses rehabilitasi hutan dengan pendekatan itu. Dana-dana dari lembaga donor juga tidak akan pernah cukup dan kontinyu untuk membiayai kebutuhan yang ada.
"Selama ini tidak ada satu pun keberhasilan negara dalam merehabilitasi hutan oleh aparatur pemerintah, juga dengan program kerja negara donor yang menyertakan jaringan kerja LSM," ungkap dia.
Dalam pandangan Ricky Avenzora, bukti keberhasilan dalam proses rehabilitasi hutan justru ditunjukkan oleh perusahaan sawit dan HTI. Berbagai areal terbengkalai berupa padang alang-alang, semak belukar ataupun hutan sekunder muda telah berhasil dihijaukan kembali oleh perusahaan sawit dan HTI. Keanekaragaman hayatinya juga terus ditingkatkan melalui skema kewajiban High Conservation Value (HCV) dan berbagai sertifikasi lingkungan terkait.
"Untuk mewujudkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah merangkul perusahaan-perusahaan terkait. Potensi finansial berbagai perusahaan sawit dan HTI di Indonesia jauh lebih dari cukup untuk menghijaukan semua kawasan hutan yang terbengkalai selama ini. Perlu kita ingat bahwa beban negara bukan hanya mencakup 2 juta hektar yang menjadi tanggung jawab BRG, melainkan mencapai 37 juta hektar yang rusak karena kekeliruan politik lingkungan pada masa lalu," pungkas dia.
(mdk/idr)