Dampak bea keluar ekspor mineral dari PHK sampai tutup pabrik
"Bea keluar tinggi jadi kerja pabriknya bisa tutup," ujar Natsir Mansyur.
Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) meminta pemerintah untuk menurunkan bea keluar tambang bagi pengusaha yang belum membangun smelter. Kebijakan ini dinilai memberatkan pengusaha tambang, sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no.6/PMK.011/2014 yang telah dikeluarkan pada tanggal 11 Januari 2014.
Ketua ATEI, Natsir Mansyur mengatakan bea keluar yang sebelumnya kurang dari 25 persen kini sudah mencapai 25 persen lebih.
"Dengan adanya aturan bea keluar ini menjadi ganjalan, karena bea keluar tinggi jadi kerja pabriknya bisa tutup," ujarnya saat acara 'Konferensi Pers Bea Keluar Barang Tambang' di Menara Karya, Jakarta, Sabtu (18/1).
Menurutnya, dengan adanya aturan BK tersebut berdampak pada potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bukan hanya itu, bisa juga meningkatkan risiko kredit macet secara besar-besaran.
"Dampaknya ke PHK ke ekonomi daerah, kredit macet menyebabkan aset perusahaan akan disita," tegasnya.
Natsir berharap perubahan tarif bea keluar yang lebih realistis meskipun hanya berlaku untuk tiga tahun ke depan. Namun menurutnya yang sangat penting adalah serius dalam pembangunan fasilitas pengolahan terutama bagi pengusaha tambang nasional.
"Idealnya dihitung sudah konsentrat barang olahan sudah proses mempunyai nilai tambah industri berarti ada biaya produksi struktur cost yang juga dihitung," tutupnya.
Pemerintah belum lama ini telah memutuskan untuk memberikan kelonggaran pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara. Pengusaha tambang yang belum membangun smelter atau pemurnian masih boleh melakukan ekspor dengan sejumlah persyaratan. Salah satunya dengan pengenaan bea keluar bahan tambang yang belum sempurna dimurnikan atau olahan.