Desentralisasi Kawasan Industri jadi Pekerjaan Rumah Menperin Agus Gumiwang
Indef telah memetakan dua PR utama yang harus bisa diselesaikan Agus Gumiwang apabila ingin dibilang sukses sebagai Menperin, yaitu melakukan Desentralisasi Industri sekaligus Sentralisasi Perizinan agar investor sektor pengolahan tertarik masuk ke Indonesia.
Agus Gumiwang Kartasasmita resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai Menteri Perindustrian (Menperin) dalam Kabinet Indonesia Maju. Penetapan Agus Gumiwang dibarengi dengan ekspektasi tinggi kinerja industri nasional agar bisa meningkat signifikan dalam lima tahun ke depan.
Institute for Development Economics and Finance (Indef) memberi sejumlah catatan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan Agus dalam mengemban amanat sebagai komandan sektor manufaktur.
-
Apa yang menunjukkan pertumbuhan industri manufaktur Indonesia? Geliat pertumbuhan ini dapat terlihat dari peningkatan permintaan baru yang menunjukkan aktivitas produksi yang semakin terpacu.
-
Mengapa Desa Kemudo memutuskan untuk mengelola limbah industri? Agar bisa bermanfaat, pihak desa kemudian mengolahnya menjadi kerajinan meubel yang cantik dan mampu diserap pasar.
-
Dimana KEK Gresik mendukung penerapan hilirisasi industri? Salah satu KEK yang saat ini mendukung penerapan hilirisasi industri tersebut yakni KEK Gresik dengan adanya Smelter PT Freeport Indonesia dengan proyeksi investasi sebesar USD3 miliar atau sekitar Rp45 triliun.
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
-
Bagaimana PT Astra Agro Lestari Tbk mengembangkan industri perkebunan di Indonesia? Astra Agro Lestari Tbk (Perseroan) mulai mengembangkan industri perkebunan di Indonesia sejak lebih dari 30 tahun yang lalu.
-
Siapa yang berperan dalam mendorong inovasi dan industri berkelanjutan? Mendorong inovasi dan industri berkelanjutan dapat menciptakan peluang bisnis baru.
Peneliti Senior Indef, Enny Sri Hartati menilai, jabatan Menperin di periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukanlah pekerjaan yang ringan. Jika melihat catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kerja keras yang harus dilakukan di sektor manufaktur tercermin dari realisasi pertumbuhan industri pengolahan yang secara tahunan (year on year/YoY) baru menembus angka 3,54 persen di kuartal II 2019.
Angka tersebut melambat dari periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal II 2018) sebesar 3,88 persen. Bahkan, sampai pertengahan tahun 2019 laju pertumbuhan ekonomi sektor manufaktur merupakan yang paling kecil sejak kuartal II 2017 atau dua tahun lalu. Padahal, pemerintah memasang target pertumbuhan industri bisa mencapai 5,4 persen sampai akhir 2019 nanti.
"Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam tiga tahun terakhir di bawah Pak Airlangga Hartarto (Menperin terdahulu) kinerjanya jeblok. Padahal beliau berpengalaman di Komisi VI DPR yang membidangi sektor industri, dan juga anaknya mantan Menperin," ujar Enny di Jakarta, Senin (28/10).
Padahal menurut Enny, Airlangga mampu menulis dengan sangat baik buku berjudul ‘Merajut Asa, Membangun Industri Menuju Indonesia yang Sejahtera dan Berkelanjutan’ di akhir masa jabatannya sebagai Menperin.
"Di buku itu sangat komplit sekali dipaparkan permasalahan sektor industri nasional. Anehnya, selama tiga tahun di Kemenperin, juga tidak dilakukan. Sehingga yang harus dilakukan Pak Agus adalah berkonsultasi dengan Pak Airlangga apa yang menyebabkannya tidak bisa mengeksekusi semua programnya selama tiga tahun kemarin," kata Enny.
PR Menteri Agus
Indef menurut Enny telah memetakan dua PR utama yang harus bisa diselesaikan Agus Gumiwang apabila ingin dibilang sukses sebagai Menperin, yaitu melakukan Desentralisasi Industri sekaligus Sentralisasi Perizinan agar investor sektor pengolahan tertarik masuk ke Indonesia.
"Pengembangan kawasan industri ke Indonesia Timur memang harus dilakukan karena lahan di Jawa sudah eksklusif sekali. Selain itu kalau ingin memberikan nilai tambah bagi sumber daya alam komoditas melalui industrialisasi memang harus dilakukan di Indonesia Timur yang punya basis tambang, perkebunan, atau kelautan dan perikanan," jelasnya.
Namun, Enny mengingatkan fasilitas di kawasan industri baru di luar Jawa masih sangat terbatas dari sisi infrastruktur maupun konektivitas. Hal tersebut membuat investor enggan berinvestasi disitu.
"Untuk kawasan di luar jawa harus ada intervensi dan inisiasi pemerintah. Kalau menunggu swasta masuk jadi kelamaan, karena swasta itu kan hanya bicara untung rugi. Apalagi pemerintah belum bisa menjamin kepastian pasokan energi dan pembangunan jalan menuju kawasan dan sebagainya. Padahal kalau ada itu, pasti ada daya tarik bagi tenant untuk masuk dan memungkinkan swasta tertarik membangun kawasan industri," tegas Enny.
Dia mengingatkan, pemerintah sebelumnya telah sukses membuka 10 kawasan industri baru yakni Morowali, Bantaeng, Konawe, Palu, Sei Mangkei, Dumai, Ketapang, Gresik, Kendal, dan Banten. Enny menyarankan kepada Kemenperin untuk bisa menjadikan minimal dua diantaranya sebagai pilot project kawasan industri ideal yang menarik minat investor untuk masuk karena sudah tersedia pasokan energi, infrastruktur dan baik konektivitasnya.
"Dari pada membangun lagi yang baru, lebih baik 10 yang sudah dibangun itu direalisasikan minimal satu atau dua sebagai pilot project," jelasnya.
Pekerjaan Rumah Lainnya
PR Kemenperin lainnya yang tidak kalah penting menurut Enny adalah harus mampu mendorong disetujuinya perizinan investasi satu pintu dalam rapat Kabinet Indonesia Maju.
Dia menjelaskan mengapa Vietnam belakangan ini muncul sebagai surga baru penanaman modal karena investor dimanjakan bukan hanya dengan fasilitas fiskal maupun non fiskal saja, tetapi juga diberikan pelayanan yang memudahkan urusan bisnisnya di negara tersebut.
Enny menjelaskan di Indonesia ada banyak tipe kawasan industri, mulai dari Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Berikat Nasional, sampai Free Trade Zone seperti di Batam. Namun, fasilitas yang diberikan kepada investor tidak jelas seperti yang disebutkan dalam peraturan pembentukan kawasan tersebut.
"Bandingkan dengan Vietnam, mereka kalau sudah menetapkan di suatu kawasan si investor bisa mendapatkan fasilitas tertentu ya itu yang diberikan, tidak bersyarat seperti di Indonesia. Contohnya dalam paket stimulus ekonomi sudah disebutkan ada tarif khusus listrik dan gas untuk industri, tapi kenapa jadi Omdo semua," tegas Enny.
Hal lain yang menurutnya bisa dicontoh dari negara lain, termasuk dalam pengurusan berbagai proses administrasi birokrasi.
"Jadi hampir semua kawasan industri yang ada di negara-negara tetangga kita itu single authority. Jadi satu kewenangan siapa yang mengelola kawasan tersebut. Investor ya tahunya berurusan dengan pengelola tersebut. Nanti misalnya pengelola harus berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kementerian Teknis, maka itu urusannya pengelola. Sementara di Indonesia kan nggak seperti itu, investor mengurus masing-masing sesuai kewenangan instansi yang diatur Undang-undang. Itu bikin ribet, dan orang jadi malas investasi ke Indonesia," kritiknya.
Pemegang gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor itu juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak berkaca pada program 100 hari Menperin yang baru, dalam menilai keberhasilan atau kegagalan pejabat yang dipilihnya.
"Karena masyarakat itu nggak antusias dengan program kerja 100 hari atau 10 hari yang penting ada kebijakan konkret. Karena kalau di sektor teknis, tidak bisa dalam jangka waktu yang pendek bisa langsung dilihat hasilnya. Minimal Menteri terkait bisa melakukan debottle necking saja sudah sangat bagus itu," jelas Enny.
Sumber: Liputan6.com
Baca juga:
Tekan Angka Kecelakaan Kerja, Utomodeck Tawarkan Sistem Integrated Safety
Strategi Agus Gumiwang Genjot Pertumbuhan Industri RI
Di Rapat Kabinet, Jokowi Tekankan Kemudahan Bagi Industri Tingkatkan Ekspor
Pabrik DIET Bentoel Group Lakukan Pengiriman 2.800 Ton Tembakau ke 6 Negara
Pertamina Power Indonesia Sabet Sejumlah Proyek Bergengsi, Termasuk di Bangladesh
Kemenperin Beberkan Alasan Produk Wajib SNI Saat ini Masih Minim