Harga minyak dunia anjlok, kenapa Premium dalam negeri tak turun?
Pertanyaan masyarakat itu tidak pernah dijawab secara jelas dan tegas oleh pemerintah.
Direktur Puskepi, Sofyano Zakaria ikut komentar terkait polemik penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia untuk jenis Premium dan Solar. Premium kini sudah tidak disubsidi dan mengikuti harga pasar, sedangkan untuk Solar pemerintah memberi subsidi tetap dan juga seharusnya bergerak mengikuti harga pasar.
Sofyano mengakui kini banyak masyarakat mempertanyakan harga BBM yang dijual dalam negeri tidak mengalami penurunan ketika harga minyak dunia anjlok tajam.
-
Kapan Pertamina menyesuaikan harga BBM? PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga BBM nonsubsidi per 1 November 2023.
-
Siapa yang mengungkapkan wacana pembatasan pembelian BBM subsidi? Dilansir dari Antara, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengungkapkan wacana pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
-
Mengapa Pertamina menyesuaikan harga BBM? Pertamina menyesuaikan harga BBM untuk mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum.
-
Apa saja jenis BBM yang mengalami penurunan harga? Harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Green 95, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex turun sedangkan untuk Pertalite atau BBM subsidi tidak mengalami perubahan.
-
Kenapa harga BBM di Singapura tinggi? Penerapan tarif pajak yang lebih tinggi telah menaikkan harga minyak di negara kecil tersebut.
-
Kapan subsidi BBM mulai diterapkan di Indonesia? Akan tetapi sejak tahun 1974-1975 keadaan berubah dari memperoleh LBM menjadi mengeluarkan subsidi BBM," demikian penjelasan dalam buku terbitan Biro Humas dan HLN Pertamina.
"Masyarakat di negeri ini heran dan dan bertanya-tanya, mengapa ketika harga minyak dunia turun, tetapi harga BBM dalam negeri tidak ikut turun. Dan sayangnya keheranan masyarakat itu tidak pernah dijawab secara jelas dan tegas oleh pemerintah," kata Sofyano seperti dilansir Antara, Minggu (2/8).
Hingga saat ini, masyarakat tidak pernah mendapat informasi dari pemerintah bahwa pembelian minyak mentah dari luar negeri memerlukan proses, prosedur dan mekanisme yang harus dilalui dan membutuhkan waktu cukup lama. Ketika hari ini harga minyak turun dan badan usaha membeli minyak dari produsen di luar negeri, maka minyak yang dibeli hari ini baru bisa sampai ke tangan konsumen atau dijual sekitar satu bulan sampai 1,5 bulan ke depan.
"Pada dasarnya belanja atau membeli minyak pasti akan bertumpu pada stok minyak yang sudah dimiliki badan usaha, baik minyak yang masih dalam proses pengiriman dari negara penjual, dan juga pada stok yang ada pada depo penyimpanan. Depo minyak yang dimiliki badan usaha Pertamina pada kenyataannya, sudah lama kapasitas tampungnya dalam kondisi sangat terbatas," ungkapnya.
Hal itu juga yang kemudian menjadi salah satu penyebab mengapa ketika harga minyak dunia turun, badan usaha seperti Pertamina tidak bisa langsung seketika 'memborong' minyak dalam jumlah besar. Membeli minyak dalam jumlah besar ketika harga sedang turun, juga memiliki risiko rugi besar karena sangat bisa terjadi harga minyak akan kembali turun sementara badan usaha, misalnya terlanjur memborong minyak saat itu.
"Harusnya penyediaan stok BBM nasional, baik berupa crude oil dan BBM menjadi tanggung jawab pemerintah, bukannya dibebankan ke perusahaan seperti Pertamina. Negara yang harus menyiapkan anggaran untuk membeli minyak dan kemudian barulah 'menjualnya' ke badan usaha, sehingga dapat membeli crude atau BBM dalam jumlah besar yang menjadi kunci ketahanan energi bagi bangsa ini," ujarnya.
Karena lamanya proses, mulai dari mengolah hingga distribusi yang membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan, hingga pada saat BBM tersebut masuk ke tangki kendaraan konsumen, sering terjadi harga minyak sudah berubah, naik kembali atau turun lagi. Dan ketika turun lagi, namun "pemerintah" tetap menjual dengan harga sesuai harga pembelian sebelumnya dengan tidak menurunkan kembali harga Jual.
Ini terbukti pemerintah tanggal 27 Maret 2015 menetapkan harga jual BBM di bawah harga pasar. Oleh karena itu, ketika akan melakukan 'penurunan harga jual' saat ini, harus dilihat kembali apakah penurunan harga minyak saat ini sudah mengakibatkan rata-rata HIP bulanan, dan sudah di bawah rata-rata HIP pada waktu penetapan harga 27 Maret 2015, jika belum, maka harusnya harga jual belum perlu turun.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil memastikan tidak akan ada perubahan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar pada Agustus 2015. Menurutnya, keputusan ini diambil karena harga minyak dunia masih rendah yakni di bawah USD 50 per barel sejak Juni. Untuk itu belum terdapat tanda-tanda adanya perubahan.
"Rasanya sih enggak ada (perubahan). Kalaupun ada evaluasi, pada 1 Agustus nanti cuma statement aja bahwa tidak ada penurunan atau kenaikan," kata Sofyan di Jakarta.
Pertimbangan lainnya, terkait pelemahan nilai tukar rupiah, yang hampir menyentuh level Rp 13.500 per USD. Ini juga dianggap sebagai dalang belum ada niatan pemerintah mengubah skema harga BBM. Meski harga minyak dunia turun, namun tingginya nilai tukar Rupiah dirasa memberatkan.
Alasan lain pemerintah belum mau merubah harga menurut Sofyan adalah, karena pemerintah masih memiliki utang ke PT Pertamina sebagai penyalur BBM. Sehingga kerugian perlu dikompensasi agar tidak akan ada penurunan harga.
"Jadi kan kombinasi, (sekarang) penurunan harga crude, pelemahan rupiah, (dan dulu) ada kerugian (Pertamina) yang artinya kemarin kita tidak mengikuti harga pasar sepenuhnya. Maka, ini perlu dikompensasi," tutupnya.
(mdk/idr)