Hasil Analisis Jika Cukai Rokok Naik Tinggi: Banyak Konsumen Beralih ke Golongan Lebih Murah
Meskipun cukai rokok mengalami peningkatan yang signifikan, para perokok tidak berhenti merokok, malah beralih ke rokok yang lebih murah.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang terus berlangsung setiap tahun hingga saat ini belulm mampu menekan jumlah perokok di Indonesia.
Meskipun cukai rokok mengalami peningkatan yang signifikan, para perokok tidak berhenti merokok, malah beralih ke rokok yang lebih terjangkau dan bahkan rokok ilegal.
- Cegah Fenomena Downtrading, Harga Jual Eceran Rokok Bakal Disesuaikan
- Hasil Kajian: Kenaikan Tarif Cukai Tingkatkan Peredaran Rokok Ilegal, Penerimaan Negara Berkurang Rp5,7 Triliun
- Siap-Siap Harga Rokok Makin Mahal di 2025 Akibat Tarif Cukai Naik
- Banyak Rokok Murah, Kebijakan Kenaikan Cukai Jadi Tak Efektif Tekan Konsumsi?
Hal ini terlihat dari tingginya angka peredaran rokok ilegal, yang saat ini tengah menjadi fokus pengawasan dan penindakan oleh pemerintah.
Pada tahun 2022, Bea Cukai berhasil mengamankan 12,43 juta batang rokok ilegal, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp9,42 miliar. Angka ini meningkat pada tahun 2023 menjadi 13,09 juta batang rokok ilegal dengan potensi kerugian yang mencapai Rp12,71 miliar. Sementara itu, hingga September 2024, tercatat 13,69 juta batang rokok ilegal yang telah diamankan oleh Bea Cukai.
Hasil Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyatakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu tinggi menjadi salah satu penyebab meningkatnya peredaran rokok ilegal.
Direktur PPKE UB, Candra Fajri Ananda, menjelaskan bahwa terdapat hubungan signifikan antara harga dan permintaan rokok. Konsumen rokok golongan I, yang lebih peka terhadap perubahan harga, cenderung beralih ke rokok golongan II dan III yang lebih murah ketika tarif cukai meningkat, tanpa mengurangi total konsumsi rokok.
"Hasil analisis tersebut selaras dengan perkembangan industri tembakau, di mana penurunan produksi terjadi paling besar pada golongan I sehingga berdampak juga pada penurunan penerimaan CHT," ungkap Candra.
Prof. Candra menambahkan bahwa ketika harga rokok golongan I meningkat akibat kenaikan cukai, banyak konsumen yang memilih untuk beralih ke rokok dari golongan yang lebih terjangkau.
Hal ini tidak hanya tidak mengurangi konsumsi, tetapi juga mendorong pergeseran preferensi di kalangan konsumen. Selain itu, kebijakan cukai yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, telah mencapai titik optimum, di mana kenaikan lebih lanjut tidak lagi efektif untuk menurunkan konsumsi.
"Konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal atau produk yang lebih murah (downtrading). Hal ini tidak hanya mengurangi volume produksi rokok legal tetapi juga berpotensi menurunkan penerimaan negara dari CHT," tambahnya.
Laporan PPKE UB Tahun 2023
Laporan PPKE UB tahun 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari 40 persen konsumen rokok di Indonesia mengaku pernah membeli rokok tanpa pita cukai. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif cukai yang diterapkan selama ini justru memperburuk keadaan.
"Ini menjadi indikasi bahwa kebijakan cukai yang terlalu ketat dapat memperparah peredaran rokok ilegal dan menimbulkan kerugian bagi negara," ungkap Prof. Candra.
Novat Pugo Sambodo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) juga menyatakan bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir justru mendorong perilaku downtrading di kalangan konsumen.
Hal ini berarti banyak konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah, termasuk yang ilegal.
"Kebanyakan produk yang dikonsumsi masyarakat bawah pada rokok bersifat inelastis. Tidak mengapa turun kualitas, yang terpenting tetap merokok," jelasnya.
Novat berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif CHT dan melakukan penyesuaian Harga Jual Eceran (HJE) pada tahun 2025 adalah langkah yang tepat untuk merespons tren downtrading yang semakin meningkat.
Fenomena ini terlihat dari penurunan produksi rokok golongan I yang dikenakan cukai lebih tinggi, dengan penurunan produksi mencapai 14 persen. Sementara itu, produksi rokok golongan II dan III yang lebih terjangkau justru meningkat masing-masing sebesar 11,6 persen dan 28,2 persen.
"Keputusan untuk tidak menaikkan CHT dan melakukan penyesuaian HJE di tahun 2025 merupakan upaya pemerintah untuk meminimalisir atau mengurangi tren downtrading dan menjaga stabilitas harga, sehingga diharapkan dapat menahan laju perpindahan konsumen ke rokok dengan harga yang lebih rendah," tambahnya.
Ciptakan Masalah Baru
Novat memberikan peringatan bahwa peningkatan tarif CHT yang terlalu signifikan dapat menciptakan masalah baru.
"Kondisi ini pada titik tertentu akan mengakibatkan kebanyakan konsumen dengan karakteristik tersebut justru mencari cara agar tetap merokok walau ilegal," tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah rokok ilegal dapat menyebabkan penerimaan cukai tidak mencapai target yang ditetapkan. Novat menekankan bahwa perubahan ini berpotensi mengurangi pendapatan cukai negara, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.
"Ini malah membuat transaksinya tidak tercatat dan tidak bisa kita monitor. Dan juga penerimaan cukai kita bahkan malah berkurang," tutupnya.
Di samping itu, Novat juga menekankan pentingnya adanya regulasi yang dapat memberikan kepastian bagi industri tembakau dalam jangka panjang. Ia menyarankan agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang baru untuk memberikan kepastian dalam berusaha.
"Dengan adanya kepastian ini, industri hasil tembakau diharapkan bisa melakukan perencanaan jangka panjang, berinvestasi, serta menjaga daya saing," tutupnya.