Benarkah Kebijakan Cukai Rokok Belum Berhasil Optimalkan Pendapatan Negara?
Penurunan realisasi penerimaan negara dari cukai rokok menunjukkan adanya tantangan dalam perumusan kebijakan cukai saat ini.
Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku pada tahun 2023–2024 dinilai tidak efektif dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Terbukti, realisasi penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan akibat kenaikan cukai sebesar 10 persen selama dua tahun berturut-turut.
Executive Director Indonesia Budget Center, Elizabeth Kusrini mengatakan, penurunan realisasi penerimaan negara dari cukai rokok menunjukkan adanya tantangan dalam perumusan kebijakan cukai saat ini.
"Kebijakan cukai (rokok) perlu terus dievaluasi dan disesuaikan agar dapat mengoptimalkan penerimaan negara sambil tetap mencapai tujuan kesehatan masyarakat," katanya dikutip di Jakarta, Jumat (16/8).
Untuk itu, Elizabeth mengatakan kebijakan cukai rokok yang moderat dan multiyears yang diusulkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2025 dapat menjadi rujukan yang bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan menjaga stabilitas ekonomi.
"Optimalisasi penerimaan negara sangat mungkin tercapai jika kenaikan cukai rokok dilakukan secara moderat dan terencana (multiyears), seperti yang diusulkan dalam KEM PPKF 2025. Harapannya rencana tersebut dapat segera dijalankan oleh pemerintahan baru untuk meningkatkan penerimaan negara secara bertahap dan berkelanjutan,” terangnya.
Elizabeth melanjutkan bahwa sebaiknya kebijakan CHT segera disahkan sebelum pemerintahan baru menjabat untuk memastikan kepastian usaha bagi pelaku industri, sehingga penerimaan negara dapat dioptimalkan lebih awal. Ia juga menjelaskan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 5,1-5,8 persen, dengan inflasi 1,5-3,5 persen.
"Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai secara bertahap dan berkelanjutan, serta mengurangi dampak negatif terhadap konsumsi dan produksi,” katanya.
Jaminan Kepastian Usaha
Mengingat beban kenaikan cukai rokok yang cukup tinggi beberapa tahun terakhir dengan kenaikan cukai selalu berada di angka double digit, lanjut Elizabeth, kebijakan cukai rokok yang moderat dan multiyears diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian usaha bagi pelaku industri. Salah satu contoh kebijakan kenaikan cukai yang moderat adalah dengan menggunakan tingkat inflasi sebagai acuan untuk kenaikan single digit.
"Dengan kenaikan tarif yang moderat dan terencana, pelaku industri dapat lebih mudah merencanakan strategi bisnis jangka panjang,” ucapnya.
Elizabeth juga menyoroti situasi industri hasil tembakau (IHT) yang kini tengah menghadapi guncangan akibat terbitnya regulasi baru yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan yang semakin ketat mengatur ruang gerak IHT lewat berbagai restriksi penjualan, pemasaran, dan komunikasi. “Kenaikan cukai dan implementasi PP 28/2024 akan memberikan tekanan tambahan pada IHT," katanya.
Ekonom Universitas Airlangga (Unair), Gigih Prihantono mengatakan, tidak tercapainya target penerimaan negara dari cukai rokok di tahun 2023 menunjukkan tidak efektinya kebijakan cukai yang berlaku.
"Proporsi cukai rokok (yang berlaku saat ini) itu cukup tinggi ya, padahal di sisi lain rokok ilegal juga masih banyak, nah ini yang jadi problem,” terangnya
.
Maka, skema kebijakan cukai rokok yang moderat dan multiyears menurutnya akan memberikan dampak positif dalam menaikkan pendapatan negara. “Sebaiknya segera disahkan sebelum pemerintahan baru menjabat,” ujarnya.
Usulan tersebut juga dikarenakan situasi IHT yang tidak baik-baik saja setelah aturan PP 28/2024 disahkan beberapa waktu lalu. “Sebelum PP 28/2024 kan sudah turun kinerjanya (IHT), jadi setelah ini ya pasti lebih turun dan penerimaan negara pasti juga turun,” pungkasnya.