Jakarta Kembali Menjadi Kota Paling Berpolusi Dunia, Apa Penyebab Sebenarnya?
Kegiatan industri serta penggunaan kendaraan bermotor juga menjadi faktor pemicu utama buruknya kualitas udara Jakarta.
Ketua Satgas Polusi Udara Jabodetabek, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, penanggulangan polusi Jakarta sudah dilakukan dengan modifikasi cuaca.
Jakarta Kembali Menjadi Kota Paling Berpolusi Dunia, Apa Penyebab Sebenarnya?
Jakarta Kembali Menjadi Kota Paling Berpolusi Dunia, Apa Penyebab Sebenarnya?
DKI Jakarta kembali menduduki posisi pertama sebagai kota besar paling berpolusi di dunia pada Sabtu (16/9) pagi.
Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 06.00 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 164 atau masuk dalam kategori tidak sehat untuk angka partikel halus (particulate matter/PM) 2,5.
"Karena sekarang kita buat pesawat terbang itu drone untuk mengikat polutannya. Itu yang membuat cepat, tapi itu kan temporary," kata Luhut.
Sebagai tindak lanjut, Luhut bakal menindak tegas kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat yang tidak lulus uji emisi. Penindakan ini utamanya dilakukan bagi para pegawai pemerintahan.
Namun demikian, sektor transportasi bukanlah satu-satunya sumber polusi udara di Jakarta. Banyak faktor lain seperti cuaca musim panas hingga PLTU menjadi penyebab parahnya polusi di Ibu Kota.
Rata-rata PLTU sudah dipasang Electrostatic Precipitator atau yang sering disebut ESP. Hasil efisiensi penyaringan abu dengan ESP dapat mencapai 99,5 persen.
Penyaringan emisi tersebut, paparnya, bisa terlihat dari perbedaan asap yang dikeluarkan dari PLTU.
“Sekarang sudah bagus pengelolaan pembangkitan listrik berbasis batu bara di Tanah Air, dan tinggal bagaimana pemantauan oleh pemerintah sehingga emisi udara ambient tetap dibawah baku mutu emisi sesuai PP No 22 tahun 2021 di lampiran VII,” kata Anton seperti ditulis Liputan6.com
"Yang heboh ramai di situ kan ada grafis. Kalau itu simulasi saja. Jadi PLTU Banten arahnya ke Selat Sunda bukan arah Jakarta," Kata Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, Jumat (18/8).
Kang Emil mengungkapkan, PLTU hanya menyumbang 25 persen partikel udara PM2,5 di dalam polusi. Sedangkan, 75 persen sisanya berasal dari kendaraan bermotor.
"Kedua evaluasi dari jumlah kendaraan, karena hasil kajiannya PM2,5 75 persen dari kendaraan. Itu zat paling berbahaya. Sementara itu, wacana di masyarakat kan nyalahin PLTU ya, sementara itu cuma 25 persen dari kajian yang ada," kata Kang Emil.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, pencemaran udara di DKI meningkat selama periode Juni-Agustus 2023.
Menurut Sigit, setelah dilakukan kajian, peningkatan pencemaran udara di Jakarta salah satunya dipengaruhi oleh musim kemarau yang membuat udara menjadi kering.
Selain itu, kegiatan industri serta penggunaan kendaraan bermotor juga menjadi faktor pemicu utama buruknya kualitas udara Jakarta.
Jika dirinci, penyumbang polusi terbesar ada transportasi 44 persen, industri 31 persen, industri energi manufaktur 10 persen perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.
"Peluang terbesar untuk memperbaiki kualitas adalah dengan memperbaiki sektor transportasi. Baru kemudian alat pengendali pencemaran dari industri," kata Sigit.